Mengenang Kembali Mas Ashad Kusuma Djaya

Mas Ashad, demikian saya menyebut namanya. Suatu masa, ketika masih lagi asyik masyuknya ber-HMI, tentu semua aktivis HMI di era 2000-an awal, akan kenal dengan nama beken itu.

Apalagi para penggemar buku-buku bacaan aktivis dari buku genre teori, hingga buku aplikasi lapangan. Dari bacaan ringan hingga buku-buku bacaan berat.

Aktivis-aktivis HMI di era itu, memang suatu kebiasaan bila mengoleksi bacaan-bacaan bermutu tapi murah. Dan itu hanya didapatkan dari Yogya. Bagi yang paham dan ingat, akan tahu apa itu Shopping Center, tempat kios-kios buku yang menggiurkan di Yogya. Lain dari pada itu, ada satu penerbit yang tengah tenar saat itu, mengejar ketenaran Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, LKiS, Jalasutra, yaitu Kreasi Wacana. Inilah penerbit sekaligus percetakan yang dikelola langsung oleh almarhum Ashad Kusuma Djaya.

Kalau ingatan saya masih bagus, mesin cetaknya tidak terlalu besar. Orang-orang percetakan mengenalnya dengan sebutan mesin toko. Berada tidak jauh dari rumahnya di bilangan Kauman. Beliau mengajak saya ke percetakannya itu. Dan saya suka sekali melihat proses jadinya sebuah buku di tingkat percetakan yang kemudian hari membawa saya terjun juga di bisnis yang sama seperti yang digeluti Mas Ashad, kendati tidak sebesar pencapaian Mas Ashad. Nama merek penerbit saya: Ummacom Press. Telah menerbitkan buku-buku bacaan umum dan memenuhi pesanan buku biografi tokoh.

Orang-orang HMI era 2000-an tidak akan pernah lupa dengan sebuah buku menggemparkan saat itu dengan judul yang sangat unik dan mencuri perhatian: Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama. Buku itu karya Mas Ashad. Dan kabarnya, diluncurkan tepat saat dia dan Mbak Intan, istrinya, melangsungkan walimatul ‘urs.

Lalu sudah dapat diduga, buku itu pun beredar di kalangan aktivis HMI. Saya pun ikut membacanya.

Buku itu penanda zaman itu betapa isu rekayasa sosial tengah digandrungi para aktivis mahasiswa era 2000-an. Dan melalui penerbit Kreasi Wacana, Mas Ashad menerbitkan beragam jenis tema. Buku-bukunya banyak yang laris di pasaran. Dan secara teratur, dia datang ke Jakarta mengurus distribusi buku-buku Kreasi Wacana yang dipegang oleh salah satu distributor di bilangan Kwitang-Senen Jakarta Pusat. Saya pernah ikut ke Kwitang itu bersama almarhum. Sehabis ikut menemaninya, saya diberinya uang yang cukup besar bagi saya sebagai aktivis PB HMI yang tidak semudah sekarang.

Mencicipi Sop Torpedo

Suatu ketika sewaktu masih aktif-aktifnya di HMI, saya mengunjungi beliau lagi di rumahya di Yogya. “Ayo, Rul!” Ajaknya tanpa saya tahu mau dibawa ke mana. Pokoknya ikut saja dengan beliau.

Dengan motor Astrea 800 warna hitamnya yang lumayan tua, saya diboncengnya. Rupanya dia membawaku ke warung sop kaki kambing. Di situ saya mencoba makan sop torpedonya kambing. Dia menyantap kaki kambing. Sedang saya disuruhnya mencoba torpedo kambing yang disop panas rasa sop kuah santan.

Saya sudah lupa apa gerangan reaksi tubuh saya sehabis melahap suguhan Mas Ashad itu. Kalau beliau, bisa aman. Lha, kalau saya yang masih bujangan, tentu dapat dibayangkan uring-uringan dibuatnya.

Sewaktu saya mengabdi sebagai Ketua PB HMI, Mas Ashad di antara kakak HMI yang memiliki perhatian yang mengesankan selain Mas Aji Dedi Mulawarman, Mas Awalil Rizky, Bang Farid Al Habsyi, Mas Saat Suharto, Mas Edi Ryanto, Bang Mastur Thoyib Kesi, Bang Syafinuddin Al Mandari, Bang Khairul Fahmi, dan masih banyak lagi tanpa mengurangi kebanggaan saya kepada mereka semua.

Salah satu yang saya kenang dari kebaikan Mas Ashad ialah bahwa dia dengan sengaja mengirimkan sepeda jenis sepeda gunung bekas berwarna merah yang dihadiahkan untuk kendaraan anak-anak PB HMI 2007-2009. Saat otu, kantor PB HMI masih berada di Jl. Mesjid Baru Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sepeda itu amat berguna untuk mengirit biaya transportasi sekaligus menancapkan pesan ke kami agar berlaku hidup sederhana dan merakyat. Dan….sepeda itu pun dinamakan sepeda anti neolib. Wajar, zaman itu lagi gencar-gencarnya isu anti neoliberalisme di dalam pergerakan HMI. Mentor utama dalan isu ini ialah Mas Awalil Rizky dan tentunya juga Mas Ashad.

Kalau dipungut-pungut lagi kenangan atas kemurahan dan kehangatan pribadi beliau, tak cukup satu artikel pendek untuk menampungnya.

Cukuplah dengan pergi selama-lamanya beliau menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita yang masih hidup, bahwa, batas umur merupakan misteri dan hak prerogatif mutlak dari Allah. Saya sama sekali tak menyangka Mas Ashad wafat begitu cepat. Ternyata beliau pergi dengan musabab kecelakaan lalulintas untuk suatu urusan dakwah.

Saya bersaksi bahwa beliau adalah orang dermawan, akhlaknya terpuji dan panutan bagi anak-anak di bawah usianya. Insya Allah beliau syahid saat menemui Rabb-nya kembali.

~ Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *