Tiga inilah yang mengarsiteki indonesia tetapi sering tak menemukan jawabannya. Tiga yang sering dilupa oleh kita semua sehingga menjadi bara api dalam sekam. Tiga yang sering meledak tanpa disangka-sangka.
Padahal, kita hidup dalam negara pancasila. Satu sintesa yang telah disepakati para pendiri Indonesi. Di dalam negara pancasila mestinya ketergantungan (utang), ketimpangan dan kemiskinan berbanding lurus dengan konstitusi.
Jika konstitusional kita dahsyat karena direalitaskan dalam kebijakan publik, maka ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan akan habis. Juga sebaliknya! Jika ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan makin merajalela berarti kita telah lama mengkhianati Pancasila.
Jadi, jika kita kini hidup di bukan negara Pancasila, kita punya negara apa? Negara impotenkah? Sebab, impotence state is inability government to take effective action. Negara yang tak berfungsi sebagaimana baiknya, sebagaimana yanh dicita-cita.
Lalu, bagaimana agar kita melampaui negara impoten? Tidak ada jalan mudah kecuali kita perlu mengintegrasikan sembilan pembentuk dan tantangan di atas serta menjadikannya riil di lapangan.
Artinya, kita harus membuat negara integral yang bergotong-royong dengan menjadikan pancasila sebagai jalan keluar.
Sebab, cara terbaik mengatasi ketergantungan, ketimpangan dan kemiskinan adalah mempraktekkan negara integralistik, yaitu negara yang integratif dan bertindak progresif dengan tidak boleh memihak pada salah satu golongan.
Negara ini harus berdiri di atas semua kepentingan; yaitu negara yang berdiri di atas semua warga negara; yaitu negara yang mengarus utamakan warganya (asli); yaitu negara yang tak kalah oleh oligarkik, kartelik, predatorik dan kleptokrasik.
Inilah sintesa indonesia. Satu postur hibridasi yang arif dan inovatif demi terciptanya cita-cita berbangsa bernegara.
Di Indonesia, “kita harus mengendus masa depan,” kata Maestro Jazz Idang Rasidi suatu kali. Sebab sejarah harus diciptakan, dengan tangan, kaki, pikiran, ucapan dan perbuatan sendiri yang menancap kuat atas pengetahuan masa lalu, kini dan ke depan.
Jika ingat hipotesa itu, aku ingat Muhammad dan Marx. Aku ingat. Ya ingat. Akan petuah tuan Idang Rasidi. Cuma aku belum punya sekutu. Apalagi pasukan.
Oleh: Yudhie Haryono, Pengamat Sosial Kemasyarakat