Makassar Pasca 30 Agustus: Menata Luka, Menjaga Persaudaraan

Mashud Azikin, Founder Komunitas Manggala Tanpa Sekat Kota Makassar

Insiden 30 Agustus 2025 akan lama membekas di ingatan warga Makassar. Gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yang terbakar bukan hanya bangunan yang hangus dilalap api, tetapi juga simbol kegagalan kita bersama dalam menghadirkan ruang dialog yang sehat. Luka ini bukan hanya milik para korban, tetapi juga luka kolektif bagi kota yang kita cintai ini.

Tragedi ini mengajarkan kita bahwa kemarahan yang tidak tersalurkan dengan baik hanya akan melahirkan kehancuran. Nyawa-nyawa yang tak berdosa menjadi korban, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan sesama warga. Ini bukan lagi soal siapa benar atau salah, melainkan tentang bagaimana kita, sebagai satu komunitas besar bernama Makassar, mampu belajar dari pahitnya peristiwa ini.

Makassar adalah rumah kita. Di sini kita lahir, tumbuh, dan hidup berdampingan. Rumah seharusnya menjadi tempat yang aman, tempat di mana perbedaan pendapat justru melahirkan dialog yang membangun, bukan api yang membakar. Maka, saat abu tragedi ini masih mengepul, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih memiliki keberanian untuk saling mendengarkan, saling memahami, dan saling menjaga?

Kejadian ini seharusnya menjadi titik balik. Pemerintah, aparat keamanan, tokoh masyarakat, akademisi, hingga generasi muda harus bergandengan tangan membangun kembali kepercayaan yang retak. Ruang-ruang dialog yang jujur dan terbuka harus dibuka selebar-lebarnya, agar suara masyarakat tidak lagi tersumbat dan meledak menjadi amarah yang tak terkendali.

Di sisi lain, kita sebagai warga juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga persaudaraan ini tetap utuh. Tidak ada perubahan yang bisa terwujud jika kita hanya mengandalkan kemarahan. Semangat gotong royong, budaya siri’ na pacce yang mengakar kuat, harus kembali menjadi kompas kita. Dari lorong ke lorong, dari kampung ke kampung, dari komunitas ke komunitas, pesan ini harus kita gaungkan: “Saling jagaki, JagaMakassarta’.”

Membangun kembali kepercayaan dan harapan memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Dari puing-puing ini, Makassar bisa bangkit kembali sebagai kota yang matang secara demokrasi, tempat kritik tidak dianggap ancaman, dan aspirasi didengar tanpa harus menunggu gejolak. Kita tidak boleh membiarkan amarah menjadi identitas kita. Identitas kita adalah solidaritas, ketangguhan, dan persaudaraan.

Mari kita jadikan tragedi 30 Agustus sebagai cambuk bersama untuk menata ulang cara kita berinteraksi sebagai warga, pemerintah, dan pemimpin. Bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk belajar. Bukan untuk membenci, tetapi untuk menguatkan. Karena pada akhirnya, Makassar ini adalah rumah kita, dan rumah ini hanya akan tetap berdiri kokoh jika kita menjaga dan merawatnya bersama.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *