Luka Demokrasi, Zulhas, dan Politik Jalan Tengah

Oleh: Mukhtar Tompo, Anggota Komisi VII DPR RI Periode 2014–2019

LUKA DEMOKRASI menjangkiti kita seperti penyakit kambuhan. Kapan-kapan bisa kumat, sewaktu-waktu dapat kambuh. Luka demokrasi itu menganga lantaran kita, komponen bangsa dari bawah ke atas, sebenarnya tidak siap menerima risiko akibat pemilihan umum (Pemilu) secara langsung.

Calon yang maju ke kancah pertarungan dan simpatisan yang mati-matian mendukung baru siap menjadi pemenang. Tidak ada yang siap menerima kekalahan. Kalaupun ada, tidak seberapa banyak. Begitu kalah, luka demokrasi sontak menganga di dada.

Ketidaksiapan menerima risiko kalah dalam pemilu itu sesungguhnya karena komponen bangsa belum dewasa dalam berdemokrasi. Masa kampanye belum tiba, kubu-kubu yang berseberangan sudah saling menyerang. Jika berbeda usungan, jelas benar segala yang dikorek dari pihak berbeda adalah yang buruk- buruk belaka.

Media sosial menjadi lahan jual beli kampanye hitam. Pendengung, boleh disebut buzzer, bagai pekerja yang tiap saat tunggang langgang demi menyenangkan hati majikan atau dukungan.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, misalnya. Pilpres masih lama, malah belum ada pendaftaran calon, tetapi perseteruan sudah sedemikian sengit. Belum apa-apa bangsa sudah terbelah. Perbedaan dukungan pasangan calon memastikan terjadinya polarisasi. Politik elektoral memantik perpecahan. Tarik-menarik simpati berubah menjadi sikut-menyikut politis.

Nasionalisme digunakan dalam sekat yang sempit. Malah ada pihak yang merasa paling nasionalis sampai-sampai menganggap kubu yang tidak sepaham sebagai “pihak yang tidak nasionalis”. Agama dipolitisasi sehingga menjadi pengepul suara. Bahkan ada pihak yang merasa paling agamais sampai-sampai menganggap kubu yang berbeda sebagai “pihak yang tidak agamais”.

Pada tataran pemilihan calon anggota legislatif pun demikian. Polarisasi begitu kental terasa. Ada sekat yang kokoh antara partai nasionalis dan partai agamais. Di kantong-kantong suara dengan karakter pemilih nasionalis, partai bercorak agama seperti menjala angin saja. Sebaliknya begitu juga. Di daerah dengan nuansa agama yang kental, partai nasionalis susah payah menjaring suara.

Namun, bukan itu bagian paling menyakitkan dari luka demokrasi kita. Bagian yang paling memedihkan justru masyarakat yang terkotak-kotak. Perbedaan pilihan dan dukungan menyebabkan permusuhan berkelanjutan. Kebencian tidak sebatas hingga pemilu, tetapi berlarut-larut bahkan sampai sekarang. Kebencian itu tidak juga sekadar benci di dalam hati, tetapi dilontarkan dari mulut sehingga menyulut luka demokrasi baru.

Lihat saja sisa-sisa Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Hina-menghina dengan sebutan cebong-kampret belum selesai-selesai, sekarang sudah muncul buzzer-kadrun. Kampanye hitam bermunculan. Propaganda sudah tidak beradab lagi. Anehnya, semua itu dianggap sah-sah saja. Boro-boro tarung ide atau adu gagasan, yang dikedepankan justru “tarung sikut” dan “adu jotos”.

Pesta demokrasi yang mahal menghasilkan potensi perpecahan. Lihat saja apa yang terjadi pada pemilu lalu. Para kandidat di Pilpres 2019 sudah sekawanan di kabinet, rakyat masih meneruskan silang sengkarut.

Zulkifli Hasan dan Politik Jalan Tengah
LUKA DEMOKRASI itu ternyata terekam dalam bilik ingatan Zulkifli Hasan. Politikus yang malang melintang di dunia legislatif dan eksekutif itu meneroka jalan agar bangsa dan negara tidak terbelah. Ia membawa cawan berisi “keislaman” dan “keindonesiaan” untuk ditawarkan kepada semua pihak, siapa saja, yang haus akan demokrasi sehat. Cawan itu ia bawa ke mana-mana. Ia menyebutnya, “politik jalan tengah”.

Sosok yang kini menduduki jabatan Menteri Perdagangan itu gencar bersafari ke sana-sini untuk menjalin komunikasi politik. Beberapa hari lalu, ia baru saja bersua dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu tengah santer dikabarkan akan diusung kembali oleh partainya sebagai bakal calon presiden. Uniknya, sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini Zulhas, sapaan akrab Zulkifli Hasan, dan partainya (Partai Amanat Nasional) amat lekat dengan koalisi bersama Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan.

Hanya saja, politik seperti “benda cair” yang selalu mengalir. Sekarang bersama, besok-besok boleh jadi berbeda kubu. Ambil tamsil Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Dulu sekubu dengan para pengusung Joko Widodo, sekarang berada di kubu seberang mengusung sosok yang “kurang disenangi” pendukung Joko Widodo. Sekarang bersama Golkar dan PPP, besok-besok bisa jadi bersama Gerindra. Lagi pula, sekadar berandai-andai, bilamana Gerindra dan PAN sekoalisi, ambang batas pencalonan presiden sudah lebih dari cukup.

Kita bisa menilik upaya Zulhas mengantar PAN menuju politik jalan tengah. Semasa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menawari PAN untuk berpartisipasi membenahi bangsa, PAN sepakat. Itulah mengapa sehingga PAN bergabung dengan kabinet pemerintahan Joko Widodo. Adapun alasannya menerima ajakan menjadi menteri adalah demi kebersamaan dan kemajuan NKRI. Itu alasan lahirnya, politik jalan tengah alasan zahirnya.

Menjelang Pilpres 2024, potensi keterbelahan Indonesia kembali terbaca. Kelompok yang dulu getol mendukung Joko Widodo kini sudah ada yang terang- terangan mendukung Ganjar Pranowo. Ada pula yang diam-diam mendukung Prabowo, akibat Prabowo kerap diminta menemani Jokowi muter-muter keliling Nusantara. Kelompok yang anti-Jokowi pun sudah banyak yang berpihak kepada Anies Baswedan. Andaikan sekadar berbeda pilihan, itu biasa-biasa saja. Ini tidak. Gontok-gontokan sudah bermula, jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum memukul gong kampanye.

Ikhtiar Zulhas dan Calon Jalan Tengah
Rupa-rupanya Zulhas punya berbagai trik untuk memainkan irama psikologi politik. Sebelumnya dalam acara Rakornas PAN di Jawa Tengah, ia sempat memperkenalkan Erick Thohir sebagai salah satu alternatif yang bisa meramaikan bursa capres atau cawapres. Seketika suasana politik berubah.

Pengamat politik dan publik menyangka itu adalah sinyal PAN bakal menyandingkan Ganjar-Erick. Ternyata tidak. Suasana terus berubah seiring dengan dinamika politik.
Usai Rakornas PAN, elite politik sibuk melakukan berbagai langkah yang dikemas dalam lawatan atau silaturahmi politik antarpartai.

Dinamika politik kembali berubah. Tiba-tiba saja Zulhas membuat trik lagi. Mendadak ia mempertemukan Presiden Jokowi dengan petinggi Golkar, Gerindra, PKB, dan PPP. Pertemuan akbar itu digelar di Rumah PAN. Setelahnya, lawatan politik Zulhas memenuhi undangan Prabowo.

Pertemuan antara Zulhas dan Prabowo bisa saja disebut sebagai “lawatan politik”. Namun, bisa pula disebut sebagai upaya membangun “koalisi besar” yang kini gencar digonjang-ganjingkan. Koalisi besar itu, lagi-lagi, merupakan jalan tengah yang diteroka untuk memperkecil gontok-gontokan karena pilpres. Koalisi besar itu diharapkan membawa kesejukan sehingga tidak terjadi jor-joran lagi dalam pemilihan presiden.

Usai bertemu dengan Prabowo, Zulhas lantang menyatakan bahwa konduktor yang berdiri di belakang kabar angin koalisi besar itu. Mantan Ketua MPR periode 2014–2019 itu menegaskan, rintisan koalisi besar berada di bawah komando Jokowi. Dengan begitu, siapa pun calon yang diusung oleh koalisi besar kemungkinan besar akan meneruskan proyek strategis Jokowi. Jauh-jauh hari, Jokowi sendiri pernah berseloroh bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Prabowo untuk “terpilih menjadi Presiden”.

Bagaimana potensi Zulhas andaikan maju sebagai kandidat? Perkara elektabilitas mungkin menjadi kendala, lantaran Zulhas jarang disosor pengamat dan penyurvei. Namun, itu masuk akal sebab Zulhas sendiri tidak pernah terang-terangan menyebut akan maju selaku kandidat. Memang begitulah karakter perintis “jalan tengah”. Kendati tidak mengasongkan diri sendiri, bukan berarti “tidak siap” andaikata dipercaya menjadi kandidat.

Belakangan, nilai elektoral mantan Menteri Kehutanan era Presiden SBY itu melejit. Ia memperlihatkan kinerja positif sebagai menteri perdagangan. Harga sembako di pasar-pasar menguntungkan pedagang dan rakyat. Tidak ayal, Jokowi mengajaknya keliling untuk blusukan di pasar-pasar blusukan. Mereka disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat. Tentu saja Zulhas mendampingi Jokowi dengan senang hati. Masyarakat senang, pemerintah senang.

Tiap-tiap menjelang Ramadan hingga Lebaran Idulfitri, harga sembako cenderung melonjak. Kalaupun tidak melonjak, banyak bahan makanan yang langka. Tahun ini tidak. Itu berarti ada manajemen pengendalian pasar yang sistematis.

Ketersediaan bahan makanan pokok di pasar tetap terjamin, itu pun dengan harga yang normal dan stabil. Jelas itu peristiwa langka semenjak Era Reformasi. Prestasi gemilang manakala Zulhas memimpin Kementerian Perdagangan. Dan, apresiasi layak ditujukan kepada sosok politikus kelahiran Lampung itu.

Adakah ikhtiar politik jalan tengah yang tengah digadang oleh beliau sebatas langkah pragmatis menjelang Pilpres 2024? Belum tentu. Justru di sinilah letak keanehan alam pikir para elite partai politik. Mestinya parpol menjadi kawah penggodokan kader dan figur ketua umum adalah sosok yang paling tepat untuk diajukan oleh parpol, tetapi rata-rata parpol sekarang mengasongkan calon dari kader parpol lain.

Anjangsana tengah dijalani oleh Zulhas politik hingga ke pelosok. Lakon itu dapat “dibaca” sebagai maklumat bahwa PAN mestinya bernyali mengajukan sosok Ketua Umum sebagai kandidat. Andaikan koalisi besar itu terbentuk, di sinilah posisi Zulhas pelan-pelan terlihat. Ia bisa bergerak maju sebagai kandidat, entah capres, entah cawapres. Dan, cawapres bukan sesuatu yang muskil, kendati capres bukan pula hal yang mustahil. Mana tahu itu salah satu di antara sekian jalan tengah untuk kemajuan bangsa. []

Penulis adalah Ketua Presidium Grassroot Indonesia dan Ketua Umum Ormas Benteng Persatuan Rakyat RI.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *