LBH AMPUH INDONESIA Desak Penegakan Hukum Atas Sindikat Impor Ilegal, Jangan Biarkan Kejahatan Ekonomi Asing Menggerogoti Industri Nasional

JAKARTA — Gelombang barang impor tanpa merek dan tanpa izin resmi kini kian tak terbendung di Indonesia. Barang-barang tersebut, mulai dari tekstil, garmen, elektronik rumah tangga hingga produk konsumsi ringan, sebagian besar berasal dari China dan masuk melalui pelabuhan besar seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Produk impor ilegal ini dengan cepat memenuhi pasar tradisional hingga platform daring dengan harga jauh di bawah pasaran.

Fenomena tersebut menciptakan tekanan besar terhadap industri dalam negeri dan para pelaku usaha yang selama ini patuh terhadap hukum. Barang ilegal berharga murah itu tidak hanya menghancurkan rantai pasok nasional, tetapi juga mengancam keberlangsungan industri tekstil, manufaktur, dan UMKM di berbagai daerah yang berjuang mempertahankan produksi lokal.

Salah satu modus baru yang mengkhawatirkan adalah penggunaan badan hukum lokal sebagai “boneka” (nominee company) oleh Warga Negara Asing (WNA) untuk menjalankan praktik impor ilegal. Dalam kasus yang terungkap, seorang WNA asal China berinisial ZL menggunakan perusahaan Indonesia untuk mengimpor 88 kontainer barang dari China secara sah, namun kemudian memanipulasi seluruh proses distribusi dan hasil penjualan.

Barang-barang impor tersebut disimpan di gudang pribadi di bawah kendali ZL, lalu dijual ke pihak lain tanpa sepengetahuan maupun izin pemilik perusahaan sah. Lebih parah lagi, hasil penjualan ditransfer ke rekening pribadi ZL di salah satu bank swasta, bukan ke rekening perusahaan. Praktik ini jelas berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan menimbulkan kerugian besar bagi negara.

Yang ironis, seluruh dokumen legal, termasuk Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan kewajiban pajak, tercatat atas nama perusahaan Indonesia yang dijadikan alat. Akibatnya, direktur perusahaan lokal justru terancam menjadi pihak yang dituntut secara hukum, padahal sesungguhnya ia adalah korban dari rekayasa bisnis ilegal yang dilakukan oleh pihak asing tersebut.

Menurut Joni Sudarso, Direktur LBH AMPUH INDONESIA, praktik semacam ini bukan hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga merupakan bentuk nyata dari kejahatan ekonomi lintas negara. “Kami menemukan indikasi kuat pelanggaran terhadap sejumlah undang-undang penting, termasuk UU Kepabeanan, UU TPPU, UU Perpajakan, hingga UU Keimigrasian,” ujarnya. Ia menegaskan, praktik ini tidak bisa lagi dianggap sebagai pelanggaran administratif, melainkan kejahatan ekonomi terstruktur yang merusak fondasi ekonomi nasional. Tegas Joni, Senin (3/11/2025).

Lebih lanjut, LBH AMPUH INDONESIA menyoroti empat dampak sistemik dari banjir barang impor ilegal: (1) hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak dan bea masuk; (2) matinya industri lokal akibat serbuan produk murah; (3) merosotnya kepercayaan investor nasional; dan (4) meningkatnya tindak pidana ekonomi lintas negara seperti penyelundupan dan pencucian uang.

Dari sisi hukum, LBH AMPUH menilai praktik ini jelas melanggar Pasal 102 huruf a dan b UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan mengenai manipulasi dokumen dan penyelundupan barang; Pasal 3 dan 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU; serta UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mengatur penghindaran kewajiban pajak. Selain itu, Pasal 62 ayat (2) huruf c UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian juga berpotensi dilanggar karena WNA menggunakan izin tinggal tetap untuk kegiatan ekonomi ilegal.

Untuk memperkuat perlindungan hukum, LBH AMPUH INDONESIA mendesak pemerintah melakukan reformasi kebijakan lintas sektor. Di antaranya, pengetatan izin tinggal dan usaha bagi WNA, integrasi sistem antara AHU, Imigrasi, dan PPATK untuk memantau pemegang saham asing, serta kewajiban penggunaan rekening perusahaan dalam seluruh transaksi impor guna mencegah tindak pidana keuangan.

Selain itu, lembaga tersebut meminta Kejaksaan Agung RI untuk membuka penyelidikan dugaan TPPU dan penggelapan pajak, PPATK untuk menelusuri aliran dana ke rekening pribadi pelaku, serta Ditjen Imigrasi untuk mencabut izin tinggal dan mendeportasi WNA yang terbukti menyalahgunakan izin. Kementerian Keuangan dan Bea Cukai juga diharapkan memperketat pengawasan, sementara Kemenperin dan Kemenkop UKM diminta memberi perlindungan hukum dan insentif kepada pelaku usaha nasional yang menjadi korban.

Fenomena “banjir impor tanpa merek” ini bukan semata masalah perdagangan, melainkan ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi nasional. Jika dibiarkan, dampaknya bisa menggerus daya saing industri lokal, mengurangi penerimaan negara, dan melemahkan kemandirian ekonomi bangsa di tengah kompetisi global yang semakin ketat.

“Negara harus hadir untuk melindungi pengusaha nasional dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Indonesia tidak boleh menjadi surga bagi modal ilegal asing yang merugikan rakyatnya sendiri,” tegas Joni Sudarso menutup pernyataannya dengan lantang.

📍 LBH AMPUH INDONESIA
Cipayung – Jakarta Timur
📞 (+62) 8595-9863-547 | ✉️ ampuhindonesia96@gmail.com

🌐 Website: ampuh.framer.website
(CP/red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *