Oleh: Hamdhani, Anggota DPR RI 2014-2019
Kapokdan BKSAP Fraksi Nasdem
TIDAK bisa lagi kita melihat Kyal Sin menari, atau memeragakan jurus taekwondo. Remaja yang karib disapa Angel itu, tewas tertembak di bagian kepalanya saat terjadi bentrok dengan polisi anti huru hara dalam demo menentang kudeta militer Myanmar, di Kota Mandalay, Rabu (3/3/2021). PBB mencatat, gadis 19 tahun itu, salah satu dari lebih 50 korban tewas dalam unjuk rasa menentang pendudukan militer sejak sebulan terakhir di negara itu.
Foto Angel dalam balutan kaos bertuliskan “Semuanya akan baik-baik saja,” yang dikenakannya di hari ia terkapar bersimbah darah, sebagai korban keberingasan polisi menghadapi massa penentang kudeta, seketika viral di media sosial. Pengguna medsos mengunggah aksi brutal aparat keamanan itu.
“Ketika polisi melepaskan tembakan, Angel mengatakan kepada saya untuk tiarap. ‘Tiarap! Tiarap! Perluru akan mengenai kamu.’ Dia melindungi orang lain seperti halnya kawan sendiri,” kenang Myat Thu, seorang teman Angel yang ikut turun ke jalan dalam demo berdarah itu.
Kini, tidak ada lagi Angel, gadis pemberani yang dalam kenangan Myat Thu, pandai menari dan jago olah raga beladiri itu. Kematiannya, dan lebih dari 50 orang lainnya dalam sebulan terakhir sejak kudeta militer di Myanmar, awal Februari 2021, adalah duka mendalam bagi proses demokratisasi yang mulai berjalan di negara itu. Kita berharap ‘’semuanya akan baik-baik saja’’ untuk negara yang dahulu bernama Burma itu, seperti diperjuangkan Angel dan kawan-kawan.
Jatuhnya puluhan korban tewas, ditambah puluhan orang lagi luka-luka dalam bentrokan unjuk rasa itu, buntut dari peristiwa kudeta oleh militer Myanmar, Senin (1/2/2021). Pasukan yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing, merebut kendali dari pemerintahan sipil hasil pemilu sah tahun lalu, dan menangkap para pejabatnya. Termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto dengan jabatan resmi Penasihat Negara.
Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw kepada AFP mengatakan, militer mendakwa Suu Kyi dengan dua dakwaan. Yaitu kepemilikan ilegal radio komunikasi atau walkie talkie impor dan melanggar UU kebencanaan karena menggelar kampanye selama pandemi. Senin (1/3/2021), sidang pendahuluan yang diwarnai permintaan Suu Kyi untuk bertemu pengacaranya. Persidangan selanjutnya dijadwalkan pada 15 Maret 2021.
Konflik politik di Myanmar, yang diwarnai jatuhnya banyak korban dalam unjuk rasa menolak kembalinya junta militer, tentu meresahkan. Tidak saja bagi kondusivitas di negara tersebut, tetapi juga tidak mustahil di wilayah yang berbatasan dengan negara tersebut. Ekses dari konflik berdarah itu, bisa menimbulkan dampak negatif ke negara-negara tetangga.
Pertumpahan darah akan berdampak serius bagi stabilitas dan reputasi ASEAN, khususnya terhadap Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Kabarnya, otoritas Negeri Gajah Putih itu, sudah menyiapkan kemungkinan munculnya pelarian dari Myanmar yang melintasi perbatasan. Jadi, stabilitas kawasan Asia Tenggara akan ikut terganggu.
Mempertimbangkan berbagai kemungkinan buruk, Myanmar membutuhkan ‘’uluran tangan’’. Sebagai saudara tua, Indonesia perlu mengambil peran, urun rembuk menyelesaikan persoalan sebelum kondisi terus memburuk, dan korban makin banyak. Karena, sekali lagi, eksesnya bakal berimbas ke kawasan ASEAN, komunitas negara di Asia Tenggara –salah satu anggotanya adalah Myanmar, yang sedang mengalami pergolakan serius.
Banyak faktor yang mendorong pentingnya Indonesia ‘’masuk’’ pada pusaran konflik di Myanmar. Tentu bukan untuk campur tangan dalam urusan negara lain. Juga bukan dalam kapasitas menggurui. Goalnya, bagaimana Myanmar kembali menjadi negara demokratis yang stabil, dan menenteramkan negara-negara tetangganya, tentu selain ASEAN, dan dunia.
Posisi sebagai sesama anggota ASEAN adalah salah satu faktor yang membutuhkan tampilnya Indonesia dalam krisis di Myanmar itu. Indonesia negara terbesar dalam organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara itu, sejak lama kerap mengambil peran utama dalam penyelesaian masalah, seperti konflik Kamboja pada 1980-an, misalnya.
Faktor lainnya, Indonesia berpengalaman dalam mewujudkan transisi demokrasi dari rezim otoriter hingga menjadi penyokong demokratisasi seperti saat ini, terlepas dari pada apapun kondisinya kini. Setelah peralihan kekuasaan orde baru dan memasuki orde reformasi, Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan presiden secara langsung dengan sistem satu orang satu suara.
Meski transisi demokrasinya sering dihujani kritik sampai hari ini, tetapi secara umum Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu demokratis, tanpa gejolak berarti. Tentu ada protes, yang tidak bisa dibilang kecil, atas penyelenggaraan sampai penetapan pemenang pesta demokrasinya, tetapi secara umum telah berlangsung baik, tanpa guncangan besar. Sejauh ini militer Indonesia tetap menjadi penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa reserve. Siapapun Presidennya, NKRI harga mati.
Lepas dari itu semua, Indonesia sudah bergerak cepat dalam mencari format pas untuk menyelesaikan konflik Myanmar. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, di Jakarta, Jumat (5/2/2021), sudah mengumumkan tekad untuk membantu Myanmar keluar dari krisis politik, tanpa bermaksud campur tangan urusan dalam negeri. ASEAN juga melarang anggotanya mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Bagusnya Indonesia sudah gercep, gerak cepat, dengan mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Brunei Darussalam, Ketua ASEAN saat ini. Perjalanan diplomatik Menlu Retno berlanjut dengan bertemu Menlu Singapura. Retno juga berbicara dengan Menlu Myanmar yang diangkat militer, Wunna Maung Lwin, di Bandara Don Mueang Airport, Bangkok, bersama tuan rumah Don Pramudwinai pada Rabu (24/2/2021).
Nah, di luar bingkai ASEAN, Retno Marsudi telah pula menjalin komunikasi intens dengan petinggi China, Australia, India, Jepang, Inggris serta utusan khusus sekjen PBB. Pokoknya, Indonesia mulai melangkah untuk mencoba mencari jalan keluar dari krisis Myanmar.
Dalam misi ini langkah Indonesia tidaklah mudah. Pasalnya, ASEAN tidak satu pendapat terkait Myanmar. Thailand, Vietnam, Kamboja, dan pada awalnya bahkan Filipina, yang pernah menjadi negara anggota paling liberal dalam bidang hak asasi manusia dan demokrasi, menolak mengkritik kudeta itu. Rata-rata menggambarkannya yang terjadi adalah masalah internal Myanmar.
Menlu Retno Marsudi sudah menegaskan inti dari sikap Indonesia adalah concern terhadap perkembangan situasi di Myanmar. Kemudian memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Indonesia akan selalu bersama dengan rakyat Myanmar.
Dengan semangat itu kita mendorong Indonesia makin mengintensifkan diplomasinya untuk mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik di Myanmar. Kita berharap segera terwujud perdamaian di sana, agar tak ada lagi korban berjatuhan. ***