BEKASI — Fenomena banjir yang melanda wilayah utara Kabupaten Bekasi seperti Cikarang Utara, Sukatani, dan Sukakarya selama dua hari belakangan ini (1 – 2 November 2025) menuai sorotan tajam dari masyarakat. Meski tanpa curah hujan signifikan, air meluap dan menggenangi permukiman warga. Suara rakyat pun bergema dari tepian sungai yang penuh limbah, menuntut tanggung jawab dan kesigapan aparatur daerah dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup.
Emak Dewi, warga sekitar Jl. Cagak Sumantri, Cikarang Utara, meluapkan kekesalannya karena sudah 2 hari ini rumahnya terdampak banjir, dengan logat khas Bekasi. “Gua kirain abis gasar-gusur Bekasi udah bebas banjir, buset malah kelelep! Ga angin, ga ujan, kok bisa begini? Jadi pemimpin itu jangan bikin susah rakyat, nanti kualat. Pemimpin tuh kudu bikin rakyat sejahtera, bukan malah sengsara,” ujarnya tegas, mencerminkan kekecewaan masyarakat kecil yang terdampak langsung.

Nada serupa datang dari Encing Sari, warga Blokang, Sukatani. Ia menilai penyebab banjir bukan semata faktor alam, melainkan akibat buruknya tata kelola lingkungan. “Di utara Bekasi ini kali udah ngebelatak sampah. Dari dulu juga udah keliatan. Pegimana ga mau banjir, wong sampah numpuk di sungai terus! Dinas-dinas pada kemana aja?” tanyanya lantang, Minggu (2/11/2025).
Warga menduga lemahnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan oleh instansi terkait. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah daerah wajib menjamin hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Kelalaian dalam pengelolaan sampah dan limbah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa urusan kebersihan, pengelolaan air, dan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Maka, dinas-dinas teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), serta Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi (DSDABMBK) seharusnya bertindak proaktif, bukan reaktif setelah bencana terjadi.
Rakyat berharap, kejadian ini menjadi momentum refleksi bagi seluruh elemen pemerintahan di Kabupaten Bekasi. Banjir bukan sekadar genangan air, melainkan cermin ketidakhadiran kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pemerintah daerah diharapkan segera melakukan normalisasi sungai, penataan drainase, dan penegakan hukum terhadap pembuang limbah sembarangan.
Kinerja lembaga legislatif pun turut dipertanyakan. DPRD Kabupaten Bekasi memiliki fungsi pengawasan dan penganggaran yang seharusnya mengarahkan APBD untuk kepentingan publik, termasuk mitigasi bencana dan kebersihan lingkungan. Setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar proyek seremonial tanpa manfaat nyata.
Masyarakat Kabupaten Bekasi kini menanti keberanian para pemimpin daerah dalam menegakkan janji-janji politik dan tanggung jawab konstitusionalnya. Karena sejatinya, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, tugas utama pemerintah adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Bukan sebaliknya—membiarkan rakyatnya tenggelam dalam banjir yang bisa dicegah.
(CP/red)






