JAKARTA – Anggota DPR RI sekaligus ahli tata negara Jimly Asshidiqqie mendorong Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jadi pelopor amandemen terbatas UUD 1945. Hal itu terungkap dalam Webinar Kemerdekaan RI Lembaga Advokasi dan Hukum DPP PPP.
Jimly yang hadir sebagai pembicara meminta PPP agar jadi pelopor amandemen UUD 45 secara terbatas dengan mengusulkan Mahkamah Etik. Apa itu Mahkamah Etik?
“Sehingga tidak semua persoalan hukum harus diselesaikan dengan penjara. Karena Penjara sudah penuh sehingga dibutuhkan terobosan hukum di mana PPP bisa jadi pelopor melalui pembentukan lembaga etik di dalam amandemen UUD. Kami sebagai anggota DPD siap bersinergi dengan PPP,” kata Jimly dalam seminar virtual pasca Kemerdekaan RI “Tantangan Hukum dan Keadilan Setelah 76 Tahun Kemerdekaan RI”, Jakarta, Rabu (18/8/2021).
Selain itu, lanjut Jimly, kondisi saat ini secara kuantitas Indonesia masuk nomor tiga di dunia. Namun dari sisi kualitas mengalami penurunan.
“Di mana kebebasan berpendapat oleh pihak yang berseberangan sering disalahartikan. Seharusnya Negara ini dikelola dengan sistem yang modern sehingga tidak hanya bergantung pada satu figur yang memegang kekuasaan ekonomi,” tegas Jimly.
Sementara itu, Wakil Ketua umum DPP PPP yang juga Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menyebutkan baik respon Jimly Asshidiqqie terkait Amandemen UUD 1945 tersebut. Menurut Arsul, perlunya perbaikan sistem hukum jangan sampai tajam ke bawah dan tumpul keatas.
Arsul Sani yang tercatat sebagai Anggota Komisi III DPR RI menyampaikan, aparat penegak hukum (kepolisian) menurut data komnas HAM termasuk dalam lembaga yangg paling banyak mendapat sorotan dan laporan dari masyarakat.
“Keberadaan ini harus mendapat perhatian serius agar Lembaga kepolisian sebagai bagian dari struktur hukum harus terus dibenahi,” ujar Arsul Sani Politisi Asal Jateng X ini.
Arsul menjelaskan, amendemen konstitusi memiliki aturan melalui proses sosialisasi dan konsultasi publik. Tidak dilakukan tergesa-gesa.
“Kami di PPP menginginkan agar proses sosialisasi dan konsultasi publik dalam proses amandemen konstitusi ini harus benar-benar dibuka ke publik agar proses dijalankan dengan tidak baik tanoa tergesa-gesa,” tutur Arsul.
Tak hanya itu, Arsul juga menekankan, amendemen konstitusi tidak sekadar mengubah undang-undang semata tapi ada mekanisme yang harus dilewati. Untuk itu, Arsul mengingatkan, konsep dan isi amendemen harus diperjelas dan dipastikan tidak melebar ke mana-mana seperti yang dikhawatirkan oleh masyarakat luas.
Alumni HMI mencontohkan, soal kewenangan MPR RI pada proses menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), sehingga perlu dibangun pemahaman masyarakat mengenai PPHN. Misalnya, mengenai urgensi PPHN, isi, hingga dampaknya terhadap sistem ketatanegaraan.
Sementara terkait PPHN yang dibahas di publik, Arsul menegaskan, substansi haluan negara ada pada perumusan Pancasila dan UUD 1945 yang bersifat filosofis, bukan muatan arah pembangunan yang masuk pada aspek teknokratis.
“Kalau substansi, bukan yang sifatnya kebijakan teknis pembangunan di mana unsur teknokratisnya yang lebih menonjol daripada penjelasan filosofis lebih lanjut tentang, misalnya, jabaran sila-sila Pancasila, maka PPP akan mengkritisi hal ini,” paparnya.
Senada dengna Arsul, Al Araf pengawas Imparsial juga menyebutkan indek negara hukum Indonesia tahun 2020 masuk dalam indeks menengah ke bawah. Data itu menyebutkan, lembaga kepolisian menjadi lembaga yang banyak jadi indikator penurunan kualitas negara hukum.
“Di mana sering kali polisi jadi oknom kekerasan di tengah-tengah masyarakat,” terang Al Araf.
Seperti diberitakan sebelumnya oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-76 MPR yang dipantau secara daring, Rabu (18/8/2021) kemarin. Pada kesempatan itu, Bamsoet menyampaikan, amendemen UUD 1945 diperlukan sebagai ruang kewenangan bagi MPR menetapkan PPHN.
Bagi Bamsoet, PPHN sangat dibutuhkan sebagai pedoman atau arah penyelenggaraan negara. Itu artinya, Bangsa Indonesia tidak lagi berganti haluan setiap pergantian presiden-wakil presiden berlangsung.
“Sehingga kita di Indonesia tidak seperti orang yang sedang menari poco-poco. Maju dua langkah, mundur tiga langkah,” ujar Bamsoet.
“Ada arah yang jelas ke mana bangsa ini akan dibawa oleh para pemimpin kita dalam 20, 30, 50, hingga 100 tahun yang akan datang,” tutur dia. (andi)