In Memoriam: Salim Said dan Empat Generasi Film Indonesia

Oleh : Denny JA

“Pada generasi keempat, film Indonesia diperhitungkan dan menang Oscar. Tapi saya tak akan mengalaminya.”

Bacaan Lainnya

Itulah perkataannya yang melintas, dalam pertemuan kami yang terakhir, ketika saya membaca berita duka wafatnya Salim Said (18 Mei 2024).

Saya dan Salim Said sama sama lulusan Ph.D Ohio State University, Political Science, Amerika Serikat. Tapi lulusan kami berjarak 15 tahun. Ia tamat tahun 1985, saya selesai tahun 2000. Usia kami juga terpaut 20 tahun.

Kami sama-sama intens di Sekolah Ilmu Sosial yang didirikan Sjahrir di tahun 1990-an. Ada Ignes Kleden, Daniel Dhakidae dan Rocky Gerung di sana. Bedanya, saya mahasiswa, Salim Said dosennya.

Ketika syukuran 40 hari anak saya yang kedua, Salim Said datang, menyemprotkan minyak wangi, sebagai bagian dari ritus.

Tapi jika kami jumpa, sedikit saja bicara soal politik. Lebih banyak kami berdiskusi soal film. Salim Said tak hanya penulis film Majalah Tempo pada zamannya. Ia juga aktivis dan pengurus organisasi film.

Dari satu festival ke festival internasional lain, Salim menjajakan film Indonesia. Ia menulis beberapa buku soal film. Juga ia bergaul dengan seniman, bintang film dan produsernya.

Pengetahuan Salim Said soal film melampaui pengetahuannya soal politik dan militer.

Salim Said tahu juga, saya pernah punya koleksi film yang saya kumpulkan selama lima tahun. Saya miliki hampir semua film nominasi festival film Oscar, Cannes dan Berlin sejak awal. Saya juga punya film pemecah Box Office 10 tahun terakhir.

Dengan adanya OTT seperti Netflix, Apple, Disney, Amazon, HBO, dan banyak lagi lainnya, hampir setiap hari saya menonton film.

Kami sama sama militan soal film.

Setahun lalu, Salim Said bertandang ke kantor saya. Ia saat itu baru mendengar pidato saya lewat YouTube untuk acara International Minangkabau Literacy Festival, 2023.

Dalam pidato itu saya katakan. Potensi budaya Indonesia tak kalah dengan Korea Selatan. Tapi lihatlah, budaya Korea Selatan sudah mendunia. Film Korsel sudah menang Oscar (Parasite, 2020). Musiknya, seperti, BTS (Bangstan Boys) dianggap The Beatles masa kini.

Apa yang membuat beda? di Korsel, diplomasi budaya dijadikan bagian integral dari diplomasi nasional. Dan pemerintah di Korsel menyisihkan secara khusus dana APBN untuk membangkitkan budaya.

Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan itu. Sisihkan dana 1 persen dari APBN per tahun untuk membangkitkan budaya: film, musik, dan sastra. Nilai 1 % APBN itu sekitar 30 trilyun per tahun.

“Saya setuju gagasan anda. Tapi itu hanya mungkin jika menteri kebudayaanya bisa meyakinkan presiden,” ujar Salim Said.

Kami lalu bicara ngolor ngidul soal film. Di antara percakapan itu, Salim Said memprediksi film Indonesia akan menang Oscar.

Salim mulai dengan empat generasi film Indonesia. Pertama, era sebelum merdeka sampai hadirnya Usmar Ismail tahun 1950. Ini generasi pedagang. Mereka melihat film sebagai barang dagangan saja, mulai dari film bisu sampai teknologi film bicara.

Lalu datang Usmar Ismail. Ia the game changer. Filmnya mulai dari Darah dan Doa, Lewat Jam Malam, dan Tiga Dara, mulai memasukkan gagasan ke dalam film.

Pentingnya sosok Usmar Ismail, terlihat dari respon pemerintah Indonesia. Hari pertama Usmar merekam film pertamanya dijadikan hari film nasional.

Usmar Ismail dilanjutkan Syuman Jaya hingga Teguh Karya. Film bermutu di Indonesia mulai bermunculan.

“Pada Generasi ketiga,” ujar Salim Said, datang Garin Nugroho dan kawan-kawannya yang sekolah film, seperti di IKJ. Generasi ini memang lebih mengerti film secara akademis. Mereka juga punya kesadaran ikut aneka festival film internasional.

Mereka mulai membuat film bergaya seni. Tak semua film generasi ini diputar komersial di bioskop Indonesia. Sebagian memang dibuat untuk ikut festival film international. Banyak juga yang mendapatkan dana internasional.

Ujar Salim Said, “Saya kira baru generasi keempat nanti, film Indonesia diperhitungkan dalam festival sekelas Oscar. Dugaan saya, itu 10-20 tahun mendatang. Saya tak akan mengalaminya.”

Cukup hangat percakapan kami. Saya juga menceritakan perkembangan artificial intelligence. Betapa sekarang, AI dapat digunakan untuk menyeleksi naskah film untuk tahu apakah ini film akan laku, dilihat dari topik, plot cerita, karakterisasi tokoh, dan dialognya.

Saya sempat cerita, beberapa puisi esai saya difilmkan oleh Hanung Bramantyo, untuk topik diskriminasi. Tapi ini film pendek durasi 40 menit saja. Ini bukan film bioskop.

Satu lagi puisi esai saya sedang difilmkan bekerja sama dengan PFN. Itu mengenai aksi kamisan para keluarga yang kehilangan anak dan orang tersayang, karena isu politik.

Tapi kisah politik puisi esai itu diganti. Bukan melawan pemerintah atau istana, tapi melawan perusahaan multi nasional. PFN mustahil membuat film yang protes pada pemerintah.

Salim Said tertawa. Ia meminta saya mengajaknya mereview ketika film itu selesai.

Saya mendengar film itu hampir selesai. Tapi Salim Said tak lagi di sini. Ia tak lagi bisa diajak mereviewnya.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.

Pos terkait