JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) DR HM Hidayat Nur Wahid, MA (HNW) mengkritisi wacana dan pengusulan agar Pemilu legislatif kembali diselenggarakan dengan sistem proporsional tertutup.
Hidayat mengingatkan agar tidak ada pengabaian prinsip kedaulatan rakyat yang dengan jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hal itu sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya.
Padahal, lajut Hidayat, dengan sistem proporsinal tertutup tersebut, pemilu hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta Pemilu, sementara Rakyat yang oleh Konstitusi dinyatakan sebagai pemilik kedaulatan, tidak memilih nama caleg yang disukainya, tapi bak “memilih kucing dalam karung”.
Menurut Hidayat, sistem pemilu proporsional tertutup tidak memilih nama calon anggota legislatif yang dikenal atau dipercaya untuk mewakilinya di lembaga parlemen di tingkat Nasional maupun Daerah. Karena dengan sistem pemilu tertutup itu, penentuan caleg yang terpilih untuk menjadi anggota legislatif diserahkan kepada partai politik.
“Yang sebagiannya belum melakukan transparansi dan kaderisasi yang baik untuk hadirkan kader-kader Partai yang berkualitas sebagai wakil Rakyat sesuai harapan Rakyat,” kata Hidayat seperti keterangan tertulis diterima wartawan, Jakarta, Senin (2/1/2022).
“Maka sewajarnya permohonan judicial review untuk kembali ke sistim pemilu proporsional tertutup ini tidak dikabulkan oleh MK, selain tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur olh UUD NRI 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh MK sendiri yaitu mengubah dari sistim proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Apalagi sistem proporsional terbuka yang akan diberlakukan dalam Pemilu sekarang dan yang sudah diberlakukan pada Pemilu tahun 2009,2014 dan 2019 sudah proporsional sesuai ketentuan Konstitusi, yakni Rakyat sesuai ketentuan UUDNRI 1945 diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di Parlemen, atau memilih (gambar) Partai yang oleh Konstitusi memang dinyatakan sebagai peserta Pemilu,” lanjut Hidayat menjelaskan.
HNW menuturkan bahwa sejatinya pandangannya ini sejalan dengan putusan MK sebelumnya, yakni putusan No. 22—24/PUU-VI/2008 yang diputus menjelang Pemilu 2009.
“Putusan ini yang menjadi salah satu acuan bagi pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, untuk menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu-pemilu berikutnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa meski amar putusan tersebut bukan secara spesifik berbicara mengenai sistem pemilu terbuka atau tertutup, tetapi dalam pertimbangannya MK secara tegas mengarahkan kepada sistem pemilu terbuka karena sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Pertimbang-pertimbangan itu merupakan ratio decidendi (pertimbangan yang mendasari amar putusan), yang sifatnya sama mengikatnya dengan amar putusan,” jelas HNW.
HNW ini menguraikan MK menafsirkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dipercayainya.
“Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan,” jelas HNW mengutip putusan MK tersebut.
Bahkan, lanjutnya, MK juga menafsirkan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengamatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya, sehingga rakyat diposisikan sebagai subjek utama dalam prinsip kedulatan rakyat, bukan hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata.
“Argumentasi ini sangat jelas dalam pertimbangan MK di putusan tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya baca di halaman berikutnya: