Harta Panas atau Harta Warisan?

Manusia tabiatnya akan mendahulukan kepentingan dan kenyamanan hidup pribadinya. Pada tingkat tertentu, demi kepentingan pribadinya, ia mengambil apa pun yang sebetulnya melanggar kepentingan orang lain.

Ketika terjadi semacam itu, maka diapun mendapat penilaian sebagai manusia yang serakah dan zalim.

Kadangkala keserakahan dan kezalimannya ini tidak ada yang mampu menghentikan dan mengoreksinya. Bahkan dia sendiri dia tidak menyadarinya sebagai suatu kesalahan.

Karena dia lebih kuat ketimbang orang-orang yang dilanggar haknya oleh dia, maka perbuatannya berlangsung saja tanpa hambatan. Kadangkala akibat perbuatan yang melanggar batas hak-hak orang lain itu, timbullah konflik dan ketegangan.

Konflik sudah barang tentu menimbulkan hilangnya rasa dan suasana damai. Suasana konflik akan beranak konflik dan begitu seterusnya hingga bisa melahirkan konflik yang lebih besar dan luas yang disulut oleh rasa tidak puas dan dendam satu sama lain.

Di sinilah urgensinya hukum. Hukumlah yang meluruskan kecenderungan nafsu yang membengkok dan pada hukumlah tempat menyandarkan harapan untuk rasa keadilan serta saluran dalam memenuhi kebutuhan akan keputusan yang memuaskan, tidak berat sebelah, tegas, stabil dan impersonal.

Dan demikianlah sebenarnya mengapa syariat Islam dianugerahkan kepada manusia, supaya memenuhi dahaga manusia akan keputusan yang lurus, murni, tegas dan stabil. Karena keputusan dan ketentuan yang digariskan oleh Tuhan mustahil berat sebelah dan menguntungkan diri-Nya.

 

Karena Tuhan tidak memiliki kepentingan dengan urusan kepentingan sesama manusia. Jadi syariat Islam itu, merupakan tempat menyandarkan keputusan yang terbaik bagi manusia saat mana antar manusia terlibat konflik kepentingan, dan konflik kepentingan itu disandarkan keputusannya kepada Yang Tidak Memiliki Kepentingan atas konflik antar kepentingan manusia tersebut.

Memang demikianlah semestinya bahwa untuk mencari keadilan, hendaklah berpaling kepada hakim yang tidak punya interes dan murni. Dan siapa lagi hakim paling murni, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan kecuali syariat Allah sendiri?

Demikianlah mengapa hukum faraidh diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, agar orang-orang yang beriman memiliki sandaran yang memuaskan dalam memecahkan perkara yang sewaktu-waktu timbul di antara mereka akibat godaan berbuat jahat dan tidak adil ketika berhadapan dengan Harta Panas atau Harta Warisan.

 

Di zaman Nabi Muhammad Saw, terjadi suatu perkara. Suatu ketika istri Sa’ad bin ar-Rabi’ datang menghadap Rasulullah Saw dengan membawa kedua orang putrinya.

Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa’ad bin ar-Rabi’ yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa’ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa’ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya.”

Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah segera memutuskan perkara ini.” Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa’: 11).

Rasulullah Saw kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa’ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa’ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa’ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa’ad.

Bila Anda ingin mengetahui dan ingin paham bagaimana solusi pembagian harta panas atau harta warisan, yang kita tahu sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan perselisihan keluarga, Anda dapat mendaftarkan diri untuk MENGIKUTI KURSUS ILMU FARAIDH.

Kursus ini merupakan layanan dari Masjid Umar bin Al-Khattab Jatinegara, Jl. Bekasi Timur IX No.9 Jakarta Timur.

Isi Nama yang jelas, Nomor WA yang dapat kami hubungi.

Hubungi 0878-0483-1205

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *