AMBON – Sebuah gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) yang menantang Kapolda Maluku menjadi sorotan publik. Tim kuasa hukum yang mewakili Hermawan Makki (Wawan) dan Juma menuntut keadilan dan mengklaim penangkapan kliennya terkait pembelian emas di Pulau Buru sebagai tindakan ilegal. Dalam persidangan kedua di Pengadilan Negeri (PN) Ambon, tim kuasa hukum Wawan dan Juma menunjukkan 36 dokumen bukti untuk mendukung gugatannya.
Para Advokat dan Penasehat Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Damar Keadilan Rakyat (LBH DKR), Saleh Hidayat, S.H., Irwan Abd. Hamid, S.H., M.H., Dr. Drs., H. Misbahul Huda, S.H., M.H.I., Malik Raudhi Tuasamu, S.H.I, CPM., CPL, dan Kantor Lembaga Bantuan Hukum Bakti Untuk Negeri Malik Raudhi Tuasamu, S.H.I, CPM., CPL, Akbar Fuad Ali Dalamoessy, S.H., CPM., CML, Saleh Hidayat, S.H., Dr. Drs., H. Misbahul Huda, S.H., M.H.I., Irwan Abd. Hamid, S.H., M.H.
Gugatan PMH ini teregistrasi dengan nomor perkara 205/Pdt.G/2025/PN.Amb untuk kasus Wawan dan 211/Pdt.G/2025/PN.Amb untuk kasus Juma. Gugatan dilayangkan sebagai respons atas proses penangkapan dan penetapan tersangka yang dinilai tim kuasa hukum melanggar hukum. Wawan ditangkap pada 20 Oktober 2024 dan Juma pada 31 Oktober 2024.
Menurut tim kuasa hukum Wawan dan Juma bukanlah penambang ilegal, melainkan pembeli emas dari para penambang rakyat. Mereka menegaskan bahwa lokasi pertambangan di Gunung Botak sudah memiliki Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sah sejak 24 Agustus 2024 berdasarkan titik koordinat. Izin Tambang Titik koordinat bukan lahan, karena lahan ada pemiliknya atau ahli waris sesuai lampiran IPR Poin ke 3.
Selain itu, penyidik diduga “gagal paham” dan tebang pilih dalam penerapan hukum. Irwan Abd. Hamid, salah satu kuasa hukum mengungkapkan bahwa penangkapan kliennya adalah tindakan ilegal. Menurutnya, penyidik dari Krimsus Polda Maluku tidak memahami regulasi terbaru tentang pertambangan rakyat.
“Penyidik gagal paham. Saat melakukan penangkapan, mereka tidak meng-update regulasi pertambangan rakyat. Bahkan, enam koperasi sudah diverifikasi oleh Pemda dan Gubernur ke MODI (Minerba One Data Indonesia),” ujar Irwan dalam keterangannya, Rabu (6/8/25).
Irwan menjelaskan bahwa dengan adanya IPR, status Gunung Botak seharusnya tidak bisa lagi disebut sebagai Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) atau ilegal. Oleh karena itu, penerapan pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Minerba, khususnya Pasal 158 dan Pasal 161, dianggap tidak relevan.
Tim kuasa hukum juga menuduh penyidik melakukan tebang pilih. Mereka menyoroti fakta bahwa aktivitas pertambangan di Gunung Botak sangat masif, melibatkan ratusan dompeng, ribuan bak peredaman, dan puluhan jasa transfer uang. Sementara pelaku utama dan pembeli emas besar dibiarkan bebas, hanya pelaku kecil yang ditangkap.
“Kriminalisasi ini adalah bentuk ketidakadilan. Penyidik tidak memahami unsur-unsur pidana dalam UU Minerba, seperti Pasal 19 (Penambangan), Pasal 20 (Pengolahan), hingga Pasal 22 (Penjualan). Klien kami berkedudukan sebagai pembeli emas dari penambang yang sah,” tegas Irwan.
Perbedaan kunci yang diperdebatkan dalam UU Minerba untuk memahami inti gugatan, berikut penjelasan singkat mengenai pasal-pasal yang menjadi perdebatan:
* Pasal 158 UU Minerba: Pasal ini menjerat setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin. Kuasa hukum berargumen pasal ini tidak berlaku karena klien mereka adalah pembeli, bukan penambang. Selain itu, lokasi penambangan telah memiliki IPR yang sah, sehingga tidak ilegal.
* Pasal 161 UU Minerba: Pasal ini mengancam setiap orang yang menampung, memanfaatkan, mengolah, dan menjual hasil pertambangan yang tidak memiliki izin.
Kuasa hukum menolak penerapan pasal ini karena mereka mengklaim emas yang dibeli berasal dari penambang rakyat yang telah memiliki IPR. Dengan kata lain, sumber emas tersebut dianggap sah. Sumber emas itu dari lokasi yang telah ada koordinat IPR dan itu artinya lokasi tersebut tidak bisa dikatakan illegal.
Jadwal Persidangan Selanjutnya
Perjalanan hukum kasus ini masih panjang. Sidang kedua untuk kasus Juma dijadwalkan oleh Majelis Hakim pada 13 Agustus 2025, sementara sidang ketiga akan digelar pada 20 Agustus 2025. Pada sidang kedua, hanya pihak penggugat dan kuasa hukum Polda Maluku sebagai tergugat yang hadir dan tergugat lain tidak hadir saat sidang hari ini.
Bahwa kelanjutan kasus ini akan sangat bergantung pada bukti-bukti yang diajukan penggugat dan interpretasi hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim.