Gonjang-ganjing Pendidikan Nasional Indonesia yang Tak Kunjung Mereda

Oleh : Jacob Ereste

Menteri baru, pakaian seragam sekolah pun harus baru. Ini kata Empok Onah dengan wajah serius sambil mendengus sinis. “Dia kira kita ini sebagai rakyat kecil sudah kelebihan duit”, imbuh Empok Onah lebih serius sambil memasang wajahnya yang garang.

Bacaan Lainnya

Sikap meradangnya Empok Onah dalam mengatasi masalah tiga orang anaknya yang masih di Sekolah Dasar (SD) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah (SLTA) ini membuat kepalanya pusing tujuh keliling.

Soalnya harga beras yang sudah ikut merusak anggaran belanja hariannya yang sudah mepet-pet itu, ia baru saja merasa lega dia selesaikan dengan membayar rekening listrik dan air yang sering biar pet macet. Lalu sekarang giliran merenungkan asal usul duit yang harus dia peroleh untuk membayar pakaian seragam sekolah anaknya yang sudah diteken kontrak oleh Permendikbudristek No. 50 Tahun 2022.

Meskipun aturan Mendikbudristek itu terkesan melindungi dan membantu warga masyarakat kecil yang sudah kembang kempis untuk membiayai sekolah putra-putri mereka, toh sudah diwajibkan pula oleh pemerintah untuk belajar, tanpa harus tau bagaimana cara rakyat membayar biaya pendidikan yang terasa semakin mencekik hidup mereka yang miskin seperti Empok Onah.

Permendikbudristek itu melarang sekolah untuk mengatur kewajiban dan/atau memberi pembebanan kepada orang tua murid atau wali murid untuk membeli pakaian seragam sekolah baru setiap kenaikan kelas dan/atau saat penerimaan siswa baru.

Padahal pakaian seragam sekolah wajib itu hanya ada dua, yang satu pakaian seragam nasional dan yang lain pakaian seragam Pramuka. Sedangkan pakaian adat masyarakat setempat bisa disesuaikan dengan budaya daerahnya masing-masing.

Untuk Sekolah Dasar, pakaian seragam berkemeja putih lengan pendek dengan satu saku di dada kiri. Celana pendek warna merah hati dengan 5 cm di atas lutut dan pada bagian pinggang terdapat tali gasper untuk ikat pinggang. Sedangkan untuk saku dalam ada pada posisi kanan dan kiri.

Bahkan untuk lebar ikat pinggang tidak boleh lebih dari 3 cm berwarna hitam. Dan kaos kaki putih polos dengan ketinggian minimal 10 cm di atas mata kaki dengan sepatu berwarna hitam.

Sedangkan untuk siswa putri harus mengenakan kemeja putih berlengan pendek dengan satu saku di dada sebelah kiri. Baju harus dimasukkan ke dalam rok pendek berwarna merah hati, lipit searah tanpa saku dengan tali gasper di pinggang berukuran 3 cm, untuk panjang rok 5 cm di bawah lutut. Semua berkaos kaki putih minimal, 10 cm di atas mata kaki.

Kecerewetan aturan serupa ini yang nyaris tidak berbeda dengan pakaian seragam yang sudah ada, jadi terkesan Kemendikbudristek sungguh kekurangan ide dan pekerjaan untuk lebih memperbaiki mutu pendidikan, misalnya memberi bantuan ekstra terhadap berbagai kegiatan ekstra yang mampu meningkatkan kecerdasan, keterampilan serta daya inisiatif dan inovatif siswa dengan memperkuat budi pekerti, sopan santun, tata krama serta adat istiadat yang luhur dari warisan nenek moyang kita yang otentik dan khas mencerminkan kepribadian manusia Indonesia yang lebih beradab.

Gonjang-ganjing dunia pendidikan kita pun menggasak perguruan tinggi, seperti yang dialami Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Syahdan, kerunyaman wajah pendidikan nasional Indonesia sungguh diambang kritis yang gawat.

Bayangkan saja, kekacauan dalam pemberhentian Prof. Budi Santoso sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair), Surabaya adalah cermin buruk dari adat dan budaya yang berkembang dalam dunia pendidikan nasional Indonesia.

Apalagi kemudian setelah heboh dan mendapat kecaman dari berbagai pihak akhirnya dianulir tanpa rasa risi dan malu. Sepatutnya sikap otoritarian sang Rektor, Prof. Nasih itu patut ditimbang ulang kepemimpinannya. Apalagi kasusnya, karena Budi Santoso menyatakan menolak atau tidak setuju dengan program pemerintah untuk membebaskan masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sedangkan di Depok, Bogor, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) ikut dipaksa cawe-cawe hendak mendatangi Istana Negera mengungkapkan kepada Presiden bila di Depok banyak anak keluarga miskin yang mau sekolah jadi terhalang, entah apa gerangan penyebabnya.

Dewan Kesehatan Rakyat Depok yang akan ikut mendamping orang tua calon murid yang tidak diterima oleh sekolah di sekitarnya itu, akan meminta bantuan Presiden pada hari Kamis, 11 Juli 2024.

Menurut DKR Kota Depok, persoalan kemanusiaan dan masa depan anak bangsa Indonesia ini akibat dari ketidakmampuan Mendikbudristek RI, Nadiem Makarim mengatasi masalah pendidikan di Indonesia yang tidak jelas juntrungan orientasinya untuk mempersiapkan manusia unggul agar dapat memasuki gerbang Indonesia Emas pada tahun 2045, setelah sebab Indonesia merdeka.

Setidaknya menurut DKR Kota Depok, ada 14 orang anak calon siswa yang mereka pantau tidak bisa masuk sekolah. Padahal, wajib belajar dari pemerintah harus diwujudkan, bukan sekedar dijadikan slogan belaka.

Sekitar 200 orang relawan DKR Kota Depok akan ikut mengawal orang tua calon murid dari Depok, Bogor yang tidak mendapatkan sekolah untuk dapat mencerdaskan diri seperti amanah UUD 1945 serta mengatasi masalah rakyat miskin di Indonesia.

*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Pos terkait