Forum dan Aliansi Mahasiswa Riau Ancam Turun ke Jalan: Oknum Pejabat Meranti Diduga Kebal Hukum, Benarkah Ada Aliran Dana ke Penegak Hukum?

Meranti – Kondisi ekonomi dan keuangan Kabupaten Kepulauan Meranti terus memburuk sejak 2023 hingga 2025. Pasca penangkapan mantan Bupati Muhammad Adil oleh KPK, alih-alih membaik, situasi keuangan daerah justru makin terpuruk. APBD diduga menjadi ajang bancakan segelintir elit, dengan dugaan kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kian menggurita.

Sejumlah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga realisasi belanja barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan. Ditemukan pula kelebihan pembayaran, ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan, hingga pertanggungjawaban fiktif. Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat: ke mana perginya ratusan miliar dana APBD dalam tiga tahun terakhir?

Forum dan Aliansi Mahasiswa Riau (FAM-Riau) mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan. Ketua FAM -Riau, Hendri, menyebut Meranti sudah layak disebut “daerah darurat korupsi” karena banyaknya kasus yang tak kunjung diproses hukum. Ia juga mengisyaratkan adanya kejutan aksi massa dalam waktu dekat sebagai bentuk tekanan terhadap penegakan hukum.

“Jika ada dua alat bukti, maka semestinya sudah cukup untuk menjerat pihak yang terlibat,” kata Hendri dalam keterangan persnya, Minggu (29/6/25).

Ia menambahkan bahwa fakta persidangan dalam kasus Haji Adil seharusnya menjadi pijakan bagi hakim untuk menindak para pemberi gratifikasi, bukan hanya penerimanya.

Lebih jauh, Hendri menyinggung tunda bayar TPP ASN selama delapan bulan dan beban utang yang kian menumpuk sebagai bukti nyata buruknya tata kelola keuangan daerah. Ironisnya, APBD Meranti secara dokumen tidak menunjukkan defisit besar, namun realisasi anggarannya selalu jebol. Ini menunjukkan kemungkinan adanya kebocoran anggaran secara sistematis.

FAM-Riau juga mempertanyakan integritas lembaga peradilan yang tak kunjung menyentuh oknum pejabat yang diduga terlibat. Mereka menduga adanya “obstruction of justice”, yaitu upaya menghalangi proses hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 221 KUHP.

Dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada alasan penghapus pidana atas perintah atasan dalam tindak pidana korupsi. Baik atasan maupun bawahan yang terlibat tetap bertanggung jawab di hadapan hukum. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan latar belakang tersebut, mahasiswa dan masyarakat sipil mendesak KPK, Kejaksaan, dan Polri agar bertindak tegas. Hukum harus ditegakkan atas dasar bukti, bukan disandera oleh kekuasaan atau transaksi di balik layar. “Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka cita-cita keadilan hanya akan jadi slogan,” tegas Hendri menutup pernyataannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *