Fenomena pejabat atau keluarga pejabat yang rajin memamerkan harta kekayaan menjadi perbincangan hangat belakangan ini, tak tanggung-tanggung Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan himbauan agar pejabat negara tidak memamerkan harta kekayaan.
Isu ini mulai mencuat saat Rafael Alun Trisambodo terciduk memiliki harta kekayaan yang tidak wajar, saat itu Rafael masih berstatus sebagai pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, bahkan dirinya terindikasi menyamarkan harta kekayaannya agar tidak terlacak. Kasus Rafael ibarat bola salju yang menyasar pejabat lain.
Setelah kasus tersebut ramai bermunculan pejabat negara yang memiliki harta tidak wajar serta keluarganya sering pamer kekayaan di media sosial. Kasus ini mendatangkan keprihatinan buat kita semua, khususnya rakyat kelas menengah ke bawah.
Entah apa yang ada di benak para pejabat tersebut, saat masyarakat masih berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca pandemi, tetapi justru dengan tanpa rasa simpati mereka mempertontonkan kekayaan yang dimiliki, seolah menjadi kewajiban agar seluruh rakyat Indonesia tahu kalau mereka adalah orang kaya, tragis bukan?
Fonomena pamer harta atau flexing dari sudut pandang psikologi merupakan bentuk hilangnya kepercayaan diri seseorang terhadap dirinya sendiri, ia tidak cukup percaya diri dengan kondisi yang melekat pada dirinya, sekalipun saat itu dirinya dalam kondisi kaya. Situasi ini kemudian menyebabkan ia berupaya untuk mencari pengakuan orang lain, ia ingin orang lain mengakui bahwa dirinya kaya raya.
Dia tidak puas bila hanya ia, keluarga, dan tetangganya yang tahu bahwa ia orang kaya, lebih dari itu ia menginginkan masyarakat seluruh Indonesia tahu bahwa ia kaya, caranya dengan pamer harta di media sosial, harapannya para netizen akan kagum dan menyanjung kekayaannya. Akan tetapi para pelaku flexing nampaknya tidak sepenuhnya sadar bahwa tidak semua netizen bisa diajak memberi pujian, sebagian justru hanya mencela tindakan pamer harta di medsos oleh pejabat dan keluarganya.
Dari perspektif sosiologi, prilaku flexing oleh pejabat justru berpotensi semakin menyuburkan gaya hidup kapitalistik yang ditandai dengan meningkatnya nafsu konsumerisme, secara alamiah pasti ada netizen yang juga berkeinginan memiliki harta yang sama sebagaimana yang dipamerkan pelaku flexing di akun medsos mereka, pelaku flexing pada dasarnya terus menstimulus netizen agar juga berbelanja sebagaimana harta yang mereka pamerkan.
Masalah akan muncul bila netizen yang berupaya meniru gaya hidup mereka adalah orang dari kelas bawah, tidak menutup kemungkinan cara-cara yang tidak wajar akan ditempuh hanya untuk mendapatkan barang mewah tersebut. Pelaku flexing pada dasarnya menyeret para netizen untuk ikut-ikutan berprilaku hidup hedon seperti mereka. Ini tentu berbahaya.
Dibandingkan pamer harta, para pejabat semestinya pamer kinerja, memamerkan hasil kerjanya dalam membangun bangsa dan negara. Ini yang butuh diketahui masyarakat. Masyarakat perlu tahu bahwa pejabat yang digaji dari pajak yang dibayar oleh rakyat sudah melakukan apa saja untuk rakyat, rakyat berhak tahu tentang kinerja para pejabat.
Kita patut menaruh curiga kepada pejabat yang gemar flexing, jangan sampai mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kinerja yang layak di instansi pemerintahan tempat mereka bekerja. Sebab tidak ada kinerja yang bisa dipamerkan ke publik akhirnya hanya harta yang dipamerkan. Bila hal itu benar, maka tentu sangat menyedihkan.
Penulis: Zaenal Abidin Riam,
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute