Eks Ketua Bidang Badko HMI Sulutgo Desak DPRD Gorontalo Utara Buka Pansus P3K

Jakarta — Fenomena diamnya DPRD Gorontalo Utara di tengah derasnya sorotan publik terkait dugaan praktik percaloan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi sinyal lemahnya fungsi kontrol legislatif terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diam bukan lagi sikap netral, melainkan potret degradasi moral kelembagaan di hadapan krisis kepercayaan publik.

Abdul Sarif, Eks Ketua Bidang Migas dan Minerba Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sulawesi Utara–Gorontalo (Badko HMI Sulutgo), menegaskan bahwa DPRD sebagai lembaga pengawasan publik semestinya menjadi pionir dalam menjaga akuntabilitas dan transparansi, bukan justru larut dalam sikap pasif yang memperkuat persepsi adanya upaya menutup-nutupi fakta.

“Jangan sampai diamnya pimpinan dewan justru memperkuat kecurigaan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi,” tegas Sarif dalam keterangannya, Senin (27/10/25).

Dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), DPRD memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketika salah satu fungsi tersebut tidak dijalankan dengan serius, maka prinsip checks and balances menjadi lumpuh. Hal ini berpotensi melanggar semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa DPRD wajib menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan kebijakan pemerintah daerah.

Sarif menyoroti fakta bahwa Fraksi Partai Golkar telah resmi mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menelusuri dugaan keterlibatan calo dalam rekrutmen PPPK. Namun hingga kini, pimpinan DPRD yang dikendalikan Partai NasDem belum juga merespons, seolah menegaskan ketidakpekaan terhadap desakan moral masyarakat.

“Dheninda kader NasDem, pimpinan DPRD juga NasDem. Jika partai ini benar menjunjung nilai integritas, seharusnya mereka menjadi yang paling depan mendorong pansus, bukan malah bungkam,” ujarnya tajam.

Dalam konteks etika publik, diam di tengah dugaan pelanggaran moral dan hukum adalah bentuk pembiaran sistemik. Sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, setiap pejabat publik wajib menolak segala bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan. Ketika DPRD abai, maka secara moral mereka turut menanggung beban tanggung jawab publik atas tercederainya asas keadilan.

Sarif menegaskan bahwa isu PPPK bukan sekadar perdebatan administratif, tetapi menyangkut marwah keadilan, meritokrasi, dan integritas birokrasi daerah.

“Publik berhak tahu apakah proses seleksi PPPK benar-benar bersih atau justru dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat,” katanya menegaskan.

Ia menilai, pembentukan Pansus merupakan langkah paling rasional dan konstitusional untuk membongkar akar masalah serta mengembalikan kepercayaan publik. DPRD harus segera memanggil panitia seleksi, pejabat teknis, dan seluruh pihak terkait agar dugaan praktik percaloan tidak berhenti sebagai isu wacana.

“Kalau DPRD serius menjaga marwah lembaga, buktikan dengan membuka Pansus dan memanggil semua pihak. Jangan diam,” serunya.

Menutup pernyataannya, Sarif menyampaikan kritik moral yang menggugah kesadaran politik.

“Diamnya DPRD sama saja menolak transparansi. Ini bukan soal siapa yang dikritik, tapi soal keberanian melawan praktik kotor yang mencederai keadilan rakyat,” tandasnya.

Sarif juga menambahkan bahwa ini bukan hanya sekadar seruan emosional, tetapi refleksi akademik terhadap krisis integritas politik lokal. Di era demokrasi prosedural, diamnya lembaga legislatif dalam menghadapi dugaan korupsi atau kolusi menandakan adanya disfungsi representasi rakyat. Transparansi bukan pilihan moral belaka, melainkan prasyarat utama tegaknya demokrasi substantif di tingkat daerah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *