Sampai tahun 1980 an sebagian kecil masyarakat di wilayah Pondok Pinang Bletan (Timur) dan sekitarnya masih menggunakan jasa “dukun beranak” untuk membantu proses kelahiran. Sebagian besar sudah menggunakan jasa bidan atau dokter kandungan.
Tapi di tahun 1980 an ke bawah proses persalinan ibu-ibu di Pondok Pinang Timur sebagian besar ditangani oleh dukun beranak. Saat itu, belum ada, atau masih jarang sekali bidan, apalagi dokter kandungan. Di antara dukun beranak yang banyak menolong persalinan para ibu bernama Uwak Bena’. Empat belas persalinan ibuku tujuh di antaranya ditolong oleh Wak Bena’. Aku adalah anak terakhir ibuku yang persalinnya dibantu beliau. Kadang saat bercanda aku suka disebut “anak Wa Bena'”.
Ini cerita ibuku. Uwak Bena’ punya jampe (do’a) saat “ngedukunin”, yaitu ayat pertama surat al Fill : “alam taro kaifa fa’ala robbuka” dengan tambahan “buka buka” di akhir jampenya agar si bayi cepat keluar. Karena keyakinan, kebersihan hati, serta ketulusan orang dulu, sang bayi dengan mudah keluar dari rahim sang ibu.
Menurut ibuku Uwa Bena’ “ngedukunin” bayi itu di bawah supervisi dan pengawasan Bidan Suwarsih yang saat itu buka praktek di Jl. Tanah Kusir III. Jadi walawpun penanganannya tradidional, tapi panduan medis modern tetap ada. Dan para dukun beranak juga tidak sembarang bisa praktek ngedukunin, ada juga izinnya dari pihak kelurahan.
Seperti halnya pelayanan rumah bersalin, para dukun beranak melayani pasiennya mulai dari proses persalin, perawatan ibu, dan memandikan bayi sampai lepas tali pusar.
Keberadaan dukun beranak di Betawi sampai akhir tahun 1980 an karena masih terbatasnya tenaga kesehatan di Jakarta. Persalinan terakhir ibuku yg ditangani dukun beranak saat aku dilahirkan, yaitu tahun 1975. Persalinan selanjutnya sampai anak terakhir ditangani Bidan Suwarsih. Bidan Suwarsih sudah membuka praktik di tahun 1970 an. Tapi masyarakat saat itu lebih suka dan nyaman ditolong oleh dukun beranak. Alasannya : kalau ditolong bidan masih ada rasa takut. Paling tidak itu yang dituturkan ibuku. Tapi setelah mencoba sekali ditangani oleh bidan, ibuku merasa lebih enak dan nyaman dengan pelayanannya. Akhirnya persalinan pindah ke tenaga medis modern.
Sampai tahun 1980 an tenaga medis modern memang masih harus bersaing dengan dukun kampung. Orang di Pondok Pinang belum percaya sepenuhnya ke dokter. Uniknya juga gangguan kesehatan waktu itu gangguan kesehatan a la orang kampung, seperti bengok, brahma, cantengan, sakit panas dan lain-lain yang berobatnya cukup diludahin oleh Nyak Iti (satu di antara dukun kampung di Pondok Pinang Timur). Penyakit orang saat itu tidak seperti sekarang. Penyakit orang dulu kebanyakan disebabkan oleh belum bagusnya sanitasi lingkungan. Sementara penyakit orang sekarang lebih karena pola makan dan pola hidup. Ada semacam pameo di kalangan orang Betawi, “Penyakit orang Betawi mah paling banter masuk angin (cika). Dikerok juga bae (sembuh)”.
Jadi keberadaan tenaga medis modern yang kurang populer tidak semata faktor kepercayaan, faktor kebutuhan juga menjadi faktor penyebabnya. Masa sih masuk angin harus ke dokter. Paling disuntik. Padahal orang Betawi kalau masuk angin belum kena duit kerokan, belum bisa sembuh. Walawapun ke dokter yang dicari tetap duit gobangan (uang logam) dan minyak.
Ada satu faktor lagi penyebabnya yaitu kurangnya sosialisasi perihal masalah medis modern. Ini khusus kasus program Keluarga Berencana (KB). Menurut ibuku, sebenarnya para petugas KB saat itu sudah sering keluar masuk kampung. Tapi karena masyarakat belum mendapat penjelasan, akhirnya para ibu merasa ketakutan kalau ada petugas KB. Tingkat partisipasi masyakat Betawi di awal-awal program KB bukan karena faktor ideologi agama Islam. Mengingat para ulama Betawi tidak menentang program ini. Ibuku baru paham program ini di belakang hari. Sudah terlambat. Anaknya sudah banyak. Inilah penyebab orang-orang tua dulu anaknya banyak-banyak.
Yang aku katakan di atas bukan berarti kami di Pondok Pinang pada era di bawah tahun 80 an tidak mengenal pengobatan modern. Kami sudah mengenalnya. Tapi karena keberadaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang masih terbatas serta sosialisasi tentang kesehatan yang kurang kami masih berobat dengan cara tradisional. Saat itu pula kami tidak terlalu familiar dengan Puskesmas. Contohnya ibuku, tidak pernah beliau ke Puskesmas. Baru belakangan ini saja ibuku sesekali ke Puskesmas Kebayoran Lama untuk memanfaatkan fasilitas BPJS KIS yang disediakan pemerintah.
Untuk urusan berobat secara medis, kami punya istilah tersendiri, yaitu : suntik. Kalau ada yang sedang sakit kadang ditanya : “elu udah suntik ?”. Maksudnya “kamu sudah berobat ke dokter ?”.
Nama suntik kami gunakan untuk pengobatan medis modern, karena saat itu setiap berobat pasti disuntik (sesuatu yang tidak dilakukan oleh dokter saat ini). Uniknya, saat ini kalau para orang tua berobat tidak disuntik terasa tidak “kaci” (belum mantap). Makanya para orang tua selalu minta disuntik, kalau saat berobat si dokter tidak menyuntiknya Akhirnya para dokter juga menuruti. Suntik jadi semacam sugesti kesembuhan bagi para orang tua.
Di Pondok Pinang Timur dulu ada seorang tukang suntik, bernama Haji Entab. Beliau sebenarnya cuma mantri. Tapi karena keterbatasan tenaga medis, beliau menjadi rujukan orang di Pondok Pinang Timur untuk berobat. Belakangan, setelah banyak dokter praktek, beliau tidak lagi menjadi rujukan. Di Tanah Kusir ada Pak Mantri Jhon, di Radio Dalam ada dokter Fajar (dr. H. Nasrul Qodir). Keduanya tenaga kesehatan langganan keluarga kami.
Selain Wak Bena’, dukun beranak yang berjasa membantu persalinan para ibu adalah Bu Etih atau Mpok Etih. Beliau bukan warga Pondok Pinang, tapi warga Kampung Sawah, seberang Kali Baru. Suaminya, H. Saduni adalah penjaga Pintu Air Kali Baru. Beliau menggantikan posisi Wak Bena’, setelah Wak Bena sudah tidak boleh praktek “ngedukunin” lagi karena sudah tua.
Kini semuanya sudah berpulang. Tapi jasa semuanya selalu dikenang oleh masyarakat Pondok Pinang Bletan (Timur) dan Kampung Sawah Kebayoran Lama.
Wallahu a’lam bis showab