Pendidikan formal yang dilembagakan dengan bentuk sekolah, klasikal dan diorganisir serta didanai oleh negara, masih merupakan warisan ideologis dari sistem pendidikan formal era kolonial.
Sistem pendidikan yang diterapkan ini, dahulu di era kolonial, dirancang dan dilaksanakan sepenuhnya untuk melayani proyek kolonial, misalnya untuk mengisi tenaga kasar yang lebih terlatih dan adaptif dengan kebutuhan operasi kolonial, yaitu tingkat sekolah dasar hingga menengah. Lalu untuk menyuplai tenaga yang lebih ahli dan profesional guna menopang kelangsungan proyek kolonial, maka sekolah setingkat sarjana, dari kebutuhan untuk pejabat pemerintahan kaki tangan kolonial hingga dokter, jaksa dan teknik, pun didirikan.
Selepas pergeseran sejarah, dengan terbentuknya pemerintahan sendiri oleh pribumi Indonesia sendiri, sistem sekolah formal yang dibiayai dan disusun oleh negara tersebut, terus dilanjutkan tanpa perubahan yang berarti dari standard kolonial, yaitu melayani negara dari kebutuhan tenaga-tenaga barunya.
Tentu sedikit penyesuaian dari segi isi ideologi, dari tadinya guna melayani secara formal proyek kolonialisme bergeser sedikit melayani nasionalisme dan integrasi nasional. Ironisnya, kecakapan yang dilatih dan dididikkan kepada siswa dan mahasiswa, tetap berdasarkan kebutuhan dan proyek subjektif negara, bukan berdasarkan kebutuhan individual yang objektif, riil dan aktual seturut zaman yang berubah dengan cepat. Hal ini tercermin dari komponen bahan pelajaran dan bahan kuliah yang diisi dalam kurikulum.
Bahan-bahan mata pelajaran dan mata kuliah yang tidak merefleksikan kebutuhan hidup yang objektif, aktual dan riil tersebut, tetap menyita durasi proses belajar yang tidak habis-habisnya dikupas dan ditanamkan mulai dari jenjang pendidikan paling dasar hingga ke jenjang paling tinggi. Seolah tidak cukup diajarkan dalam seratus jam hanya untuk memenuhi kepentingan kesadaran nasional dan loyalitas kebangsaan.
Oleh karena itu, sudah waktunya meninjau sistem pendidikan formal di Indonesia yang kini sangat korup dan irrelevan bagi kebutuhan hidup riil seseorang di dalam zaman yang berubah cepat. Peninjauan yang dimaksudkan untuk pengubahan total dari segi design hingga proses menuju output, haruslah berarangkat dari paradigma dekolonisasi sistem pendidikan formal Indonesia yang menyimpulkan bahwa sistem yang berjalan masih merupakan kelanjutan dari sistem kolonial yang membelenggu individu dan sosial, dan menempatkan negara yang distir oleh rezim per rezim, harus dilayani oleh sistem pendidikan, betapa pun kaku dan kunonya paham pendidikan yang dianut.
Inisiatif dari civil society untuk membuat sistem pendidikan formal yang lebih relevan dengan kebutuhan individu dewasa ini memang terpuji, akan tetapi bila negara masih belum juga beradaptasi dan mempertahan sistem pendidikan formal yang bertendensi kolonial, maka dampaknya tidak akan signifikan. Karena tetap saja mesin sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dikendalikan negara, akan memarginalkan dan melumat inisiatif-inisiatif dan inovasi-inovasi pendidikan yang dilahirkan oleh civil society.
Dalam hal ini, menjadi pertanyaan: sampai kapan negara memelihara sistem pendidikan formal yang masih berkecenderungan kolonial dan eksploitatif itu? Ciri kolonial dari sistem tersebut, terlihat dari korupsi dari tingkat perancang, penganggaran hingga pelaksana operasi pendidikan di lapangan. Selain itu, relasi kekuasaan dalam sistem pendidikan ini, masih bersifat kolonial, yaitu terpusat, hirarkis dan otoritas mutlak.
Oleh: SE Dasopang, Pengamat Sosial
*Artikel ini merupakan rangkaian seri tulisan seputar sistem pendidikan formal Indonesia yang korup