Dampak Wabah COVID-19 pada Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja

OLEH: Amin, AK, MM, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Dapil Jawa Timur IV

Pada pekan ke-4 sejak Kebijakan Pembatasan Sosial diberlakukan, Gelombang PHK terus bermunculan.

Bank Indonesia telah merevisi Pertumbuhan Ekonomi dari 5,0 – 5.4 persen menjadi 4,2 – 4,6 persen. Ada penurunan sekitar 1 persen.

Data ILO (International Labour Organization) menyebutkan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap 350.000 – 400.000 tenaga kerja.

Ini artinya, saat ada perlambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, RI akan kehilangan kesempatan tenaga kerja sebesar 350.000 – 400.000 orang. (Persis dengan Jumlah PHK yang saat ini sedang terjadi).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang atau turun secara persentase sebesar 5,34%.

Tanpa adanya wabah COVID-19 saja, Tingkat Pengangguran bertambah secara absolut. Padahal sepanjang Agustus 2018 – Agustus 2019 Pertumbuhan Ekonomi meningkat, meskipun laju pertumbuhannya melambat.

Ini menunjukan ada yang salah dalam tata kelola ketenagakerjaan dan pembukaan lapangan kerja untuk rakyat domestik.

Sejak tahun 2016, jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) terus meningkat 5-10 persen per tahun. Tahun 2018 adalah peningkatan TKA tertinggi, hingga 10,8 persen atau dari 85.974 orang menjadi sekitar 95.335 orang, dengan TKA terbanyak dari China 33,7 persen (Data Kemenaker, 2019).

 Ironis, bila lapangan kerja untuk TKA terus dibuka, pada saat yang sama, PHK massal terus terjadi akibat wabah COVID-19.

 Di Jakarta, Sebanyak 16.065 pekerja di PHK dan 72.770 pekerja dirumahkan (Data Disnakertrans DKI Jakarta). Sedangkan di Jawa Timur ada 814 karyawan (1,48%) di PHK akibat pandemi COVID-19 (data Gugus Sosial Ekonomi Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur).

Di Jawa Tengah, 40 pabrik Industri dan perusahaan stop produksi (data APINDO Jawa Tengah).

Karyawan di PHK dan dirumahkan akibat 2 hal. Yang pertama Demand menurun drastis, yang kedua kebijakan Social Distancing akibat mewabahnya COVID.

 Industri manufaktur adalah yang pertama kali terpukul akibat wabah ini. Pabrik garmen, tekstil, otomotif, elektronik mengencangkan ikat pinggang.

Seharusnya menjelang Ramadhan, Industri manufaktur menggenjot produksi, tapi kini justru buruh libur bergantian, tidak ada lembur, sebagian dirumahkan dan di PHK.

Padahal Industri manufaktur adalah penyumbang terbesar PDB tahun 2019, sebesar 19,62 %. Menurunnya performa Industri manufaktur akan berdampak signifikan terhadap menurunnya Pertumbuhan Ekonomi, dan akibatnya menurunkan Lapangan Kerja.

 Kondisi Industri seperti ini (dan diperkirakan akan terjadi dalam waktu yang lama sepanjang tahun 2020), karena tidak ada satu pihak pun yang dapat memprediksi kapan wabah ini akan berakhir.

Perusahaan / Industri atau bisnis apapun harus memiliki agility (kelenturan) produk dan berbagai varian barang produksi dan jasa.

Misalnya mengubah line productionnya dari garmen pakaian / T-Shirt menjadi produksi APD dan masker. Dari Industri produksi mesin industri menjadi pengadaan alat ventilator.

Atau Industri kimia yang memproduksi Handsanitizer, Vitamin dan lain-lain. Industri Perhotelan yang menyediakan kamar untuk isolasi bagi ODP dan PDP.

Sektor Industri bisa didorong untuk memproduksi kebutuhan tersebut, sehingga harga di masyarakat jauh lebih murah.

Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan serta anggaran untuk percepatan produksi alat dan kebutuhan tersebut.

 Instrumen fiskal diberikan tepat sasaran dan tepat jumlah (anggarannya). Pilihan instrumennya adalah Pembebasan bea impor bahan baku bagi industri, insentif pajak dan subsidi harga khusus produksi UMKM.

Pos terkait