CSR Wajib, Bukan Pilihan: Saatnya Pemerintah Kabupaten Bekasi Bertindak Tegas

BEKASI — Kabupaten dan Kota Bekasi yang selama ini dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Indonesia, dijuluki sebagai “Kota MetroDollar” karena menjadi pusat perputaran ekonomi dan investasi berskala nasional maupun internasional. Tercatat ribuan perusahaan beroperasi di wilayah ini, baik di dalam maupun di luar kawasan industri. Namun, di balik geliat ekonomi tersebut, masih banyak perusahaan yang abai terhadap kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut data Bappeda Kabupaten Bekasi tahun 2024, hanya 31 perusahaan yang melaporkan pelaksanaan program CSR mereka. Rata-rata setiap tahun tidak lebih dari 50 perusahaan yang menyerahkan laporan CSR secara resmi. Dari total sekitar 11.000 perusahaan, angka tersebut bahkan tidak mencapai 1%. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya komitmen dunia industri dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat dan lingkungan sekitar.

Padahal, dalam kerangka hukum nasional, pelaksanaan CSR bukan sekadar imbauan moral, melainkan kewajiban hukum. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74 dengan tegas menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berimplikasi pada sanksi administratif yang berat.

Endra Kusnawan, seorang Konsultan CSR yang telah lebih dari satu dekade berkecimpung di dunia tanggung jawab sosial perusahaan, menegaskan bahwa sanksi hukum terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan CSR bersifat nyata dan memiliki kekuatan eksekusi hukum. “Kata siapa perusahaan yang tidak melaksanakan CSR itu tidak ada sanksinya? Menurut peraturan perundang-undangan, sanksinya itu jelas. Bahkan sanksi yang diterima bisa sampai dicabut izin usahanya,” ujarnya dalam diskusi santai di Gedung Juang 45 Bekasi dengan awak media.

Endra menjelaskan, dasar hukum paling tegas terkait hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, khususnya Pasal 34 Ayat (1) yang menyatakan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan kegiatan usaha. “Sanksi ini bukan ancaman kosong, karena dapat langsung berdampak pada legalitas operasional perusahaan,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah daerah harus berani dan tegas dalam menegakkan aturan tersebut. Jika sanksi sosial dan pendekatan persuasif tidak diindahkan, maka sanksi administratif harus diterapkan secara konsisten. “Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk ragu menegakkan aturan. Ketegasan akan melahirkan keadilan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan bagi masyarakat,” tutur Endra kepada awak media, Rabu (22/10/2025).

Ia juga menambahkan bahwa kewenangan pemberian maupun pencabutan izin usaha tergantung pada jenis izin dan otoritas yang menerbitkannya. “Pihak pemerintah yang mengenakan sanksi adalah instansi yang mengeluarkan izin tersebut, baik pusat maupun daerah. Karena setiap bentuk izin memiliki lembaga penerbit yang berbeda,” jelasnya.

Endra menutup dengan pesan visioner bahwa keberlanjutan dunia industri tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan lingkungan. “CSR bukan beban, tapi investasi sosial jangka panjang yang memperkuat kepercayaan publik, memperkokoh reputasi korporasi, serta memastikan harmoni antara industri, masyarakat, dan alam. Jika Bekasi ingin menjadi contoh kota industri beradab, maka penegakan hukum CSR adalah keniscayaan,” pungkasnya.
(CP/red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *