Candu Baru Itu Bernama Media Sosial

Manusia memasuki tahap baru kehidupan, persentuhan manusia dengan perangkat digital menjadi penanda zaman baru, gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Bani Adam, media sosial atau medsos merupakan tampilan yang paling sering diintip pengguna gadget.

Kadang kita menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk melihat bagian beranda di medsos, atau sekadar melihat jumlah like pada status yang telah diupload, semua itu dikerjakan tanpa rasa lelah sedikitpun, tanpa pandang waktu dan tempat, mengakrabkan jemari dengan medsos menjadi candu baru di zaman baru ini.

Layaknya perokok yang telah kecanduan rokok, bila hitungan jam bahkan mungkin menit tidak merokok maka ia merasa hampa, untuk mengobati kehampaan itu maka ia harus merokok, begitupun dengan pengguna medsos, tidak perlu hitungan jam.

Dalam durasi menit saja tidak berinteraksi dengan medsos maka kita merasa hampa, ada yang kurang, dan tanpa tertahan jemari akan bergerak membuka akun media sosial, walaupun tak jelas apa alasan sehingga kita harus membukanya, tak jelas pula apa faedah yang didapat saat membukanya.

Persentuhan kita dengan medsos nampak mempengaruhi semua sisi kehidupan, termasuk urusan eksistensi. Sejak medsos menjadi tren, manusia mengalami penurunan minat yang amat drastis untuk mengekspresikan eksistensinya melalui karya atau prestasi.

Sebaliknya, manusia lebih tertarik menunjukkan eksistensinya lewat platform media sosial, merasa memiliki eksistensi saat status atau postingannya menuai banyak like, komentar atau viewer tanpa peduli apakah postingan tersebut berkualitas atau tidak, bermanfaat atau tidak.

Semua itu tidak lagi menjadi ukuran. Akibatnya manusia terjebak untuk sekadar memburu like, komentar dan viewer. Tanpa sadar kita seringkali bolak balik mengecek medsos hanya untuk mengecek jumlah like terhadap postingan kita.

Saat jumlah like semakin banyak kita merasa semakin eksis, walaupun postingan kita boleh jadi tidak berkualitas, sebaliknya semakin sedikit jumlah like terhadap postingan tersebut maka kita merasa eksistensi kita berkurang, merasa makin tidak eksis.

Silakan tanya pada diri masing-masing, apa yang anda rasakan saat sebelumnya postingan anda di media sosial menuai ratusan bahkan ribuan like namun pada postingan selanjutnya tiba-tiba hanya mendapatkan belasan like? Silakan anda jawab sendiri dengan jujur.

Dalam berbagai kasus terjadi hal yang lebih parah, demi merasa eksis di media sosial, manusia tak ragu menampilkan postingan yang sama sekali tidak mengandung manfaat namun dianggap sensasional, postingannya hanya untuk mencari sensasi, hanya untuk mencari perhatian netizen.

Postingan ini biasanya diekspresikan dengan memamerkan bagian tubuh yang tidak selayaknya diumbar ke medsos atau dalam bentuk kalimat yang isinya hampir semua mengandung hujatan. Semakin ramai komentar dan like terhadap postingan tersebut maka si pemilik postingan merasa semakin bangga.

Meskipun kolom komentar lebih banyak berisi kalimat negatif atas postingannya yang juga negatif tapi ia tetap merasa senang, sungguh sebuah anomali yang sangat memilukan.

Manusia sebagai pengguna medsos semestinya memiliki kesadaran yang bisa bertindak sebagai benteng agar dirinya tidak terjebak pada candu baru bernama medsos, hal ini penting guna memastikan bahwa diri kita termasuk diantara orang-orang yang bijak dalam bermedsos.

Memang akan sangat sulit menghindarkan diri dari medsos, ada yang bisa melakukannya tapi jumlahnya sangat sedikit, pada dasarnya medsos tidak perlu dihindari, terlibat dalam interaksi di medsos adalah hal wajar.

Bahkan medsos bisa dimanfaatkan untuk melakukan kerja pencerahan dan agenda sosial keagamaan, tapi semua itu bisa terjadi bila kita memiliki kesadaran dalam bermedsos, bila tidak maka kita ibarat ikan mati yang akan terus terbawa arus medsos.

Penulis: Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *