Belajar Toleransi dari Masyarakat Pameungpeuk Garut

 

Oleh :
Khairul Fahmi
(Pengasuh MT DARUL ILMI Jakarta)

Perbedaan penetapan akhir ramadhan dan awal syawal terjadi lagi di tahun 2023 M /1444 H ini.

Perbedaan ini bukan semata karena gengsi politik seperti disinyalir oleh sebagian kalangan. Gengsi politik yang dimaksud pemerintah sebagai yang memiliki otoritas dan legitimasi harus ditaati oleh semua rakyat, termauk oleh ormas Islam. Atau pendapat pemerintah harus berbeda dengan ormas Islam, Muhammadiyah dalam hal ini, yang sudah menetapkan akhir ramadhan jauh-jauh hari.

Perbedaan disebabkan oleh metodologi. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, NU menggunakan ru’yah. Penyebab turunannya adalah besaran derajat hilal. Muhammadiyah berpendapat hilal di bawah 2 derajat bisa dihukumkan telah terjadi pergantian bulan. Sementara NU dan pemerintah dalam hal ini berpendapat bahwa pergantian bulan terjadi mana kala posisi hilal sudah di atas dua derajat.

Perbedaan ini bukan hal baru sebenarnya. Bagaimana cara menyeragamkannya ? Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Tapi perbedaan itu kali ini terasa tajam sekali, karena bumbu politiknya terlalu banyak. Perbedaan ini oleh kalangan pemecah anak bangsa yaitu para buzer dijadikan isu politik. Yang berlebaran tgl 21 April 2023 dihadapkan secara diametrikal dengan yang berlebaran tanggal 22 April 2023. Seolah-olah yang berlebaran pihak “pembangkang pemerintah”, “tidak NKRI harga mati”, “kadrun” dan istilah-istilah sampah politik lain yang lima tahun lalu digunakan untuk menyerang lawan politik saat Pilkada DKI dan Pilpres 2019. Padahal ini adalah domain agama, bukan domain politik.

Karena ini adalah domain agama, maka haruslah kita kembalikan kepada domain sebenarnya. Muhammadiyah tidak mungkin dipaksakan untuk berlebaran tanggal 22 April dan tetap berpuasa tanggal 21 April karena mereka berkeyakinan bahwa tanggal 21 April sudah masuk 1 syawal, satu di antara waktu-waktu yang dilarang berpuasa. Di sisi yang lain kita juga tidak bisa memaksakan NU dan yang menunggu hasil sidang itsbat untuk berlebaran tanggal 21 April, karena menurut mereks tanggal tersebut masih bulan ramadhan. Akhirnya, kita harus bersikap dewasa menyerahkan penyikapannya kepada masing-masing individu. Yang berlebaran tanggal 21 April harus menghormati orang yang berlebaran tanggal 22 April dengan tidak secara demonstratif menunjukkan betul perbedaannya. Kalau sudah tidak berpuasa lagi, makan dan minumnya sembunyi-sembunyi. Kalau mau takbiran dan solat id, cari tempat yang kondusif. Sebaliknya yang berlebaran tanggal 22 April tidak pantas menuduh yang berlebaran tanggal 21 April sebagai “pembangkang” atau “kadrun” dan sebagainya.

Dalam hal toleransi berlebaran mungkin kita perlu menengok sikap toleran masyarakat Desa Mancagahar Pameungpeuk. Beberapa tahun yang lalu saat berlebaran di Kampung istri saya, Pameungpeuk, kebetulan penentuan akhir ramadhan sedang tidak kompak antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Seperti biasa Muhammadiyah berlebaran lebih dulu.

Selama ini penganut Islam di Desa Mancagahar beragam ; ada yang berafiliasi ke Muhammadiyah, NU, bahkan Persatuan Islam (Persis). Corak heterogenitas ini memang sudah menjadi ciri khas masyarakat muslim di Priangan Selatan.

Semua ormas Islam tersebut memiliki kantor perwakilan masing-masing di tingkat Kecamatan Pameungpeuk. Semua ormas tersebut memiliki masjid dan lembaga pendidikan masing-masing. Letaknya juga tidak berjauhan. Saat lebaran versi Muhammadiyah tiba, warga Muhammadiyah melaksanakan takbiran, solat idul fitri saat itu juga. Keesokan harinya warga yang merayakan lebaran versi pemerintah baru melaksanakan solat id. Acara silaturrahminya mengikuti yang merayakan lebaran versi pemerintah. Masyarakat di sana akur-akur saja. Tidak ramai, dan tidak saling menyudutkan.

Yang uniknya, keluarga istri saya berlebaran lebih dahulu. Sementara keluarga kakak mertua saya esok harinya. Rumahnya juga berseberangan. Kata mertua saya : ” Nyai masih keneh puasa ” [Nyai (kakaknya) masih puasa] “. Karena kami tahu mereka belum berlebaran hari itu, setelah solat idul fitri kami di dalam rumah saja.

Jadi sebenarnya masyarakat kita cukup dewasa menyikapi perbedaan itu. Sikap yang berbeda dinyatakan oleh tetangga kami di Jakarta ini. Akhir puasa mengikuti kalender Muhammadiyah, tapi solat idul fitrinya mengikuti awal hasil sidang itsbat pemerintah. Masalah boleh tidaknya biarlah para ahli fikih yang membahasnya. Tapi sejauh dalam rangka menjaga “wahdah al ummah” (persatuan ummat), sikap ini perlu diapresiasi.

Wallahu a’lam bis showab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.