Oleh: Hikma Ma’ruf Asli
Bantuan Sosial (Bansos) merupakan bagian dari kebijakan darurat untuk mencegah situasi tak terkendali yang dikhawatirkan memicu kondisi krisis sosial sebagai dampak bencana atau kemiskinan ekstrem di tengah masyarakat.
Kehadiran Bansos menjadi salah satu bentuk jaring pengaman sosial (social safety net). Sebagai kebijakan darurat, tentu bersifat terbatas dan terukur. Bersifat sementara di masa krisis, yang secepatnya diganti dengan kebijakan peningkatan kesejahteraan sosial melalui berbagai kebijakan strategis seperti: padat karya dengan peningkatan kesempatan kerja produktif, pemberdayaan UMKM dan lain sebagainya.
Kebijakan bansos sebagai bagian dari kebijakan jaring pengaman sosial, hanya berlangsung di masa krisis. Jika berlangsung terlalu lama,ada indikasi program penanggulan kemiskinan dan peningkatan kesejahyeraan rakyat tidak berhasil.
Persoalan kemudian ketika bansos yang merupakan produk kebijakan politik didedikasikan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan politik. Program pencegahan kisruh sosial itu justru cendrung memelihara kemiskinan yang kemudian dijadikan “obyek” politik untuk meraup suara pemilih.
Pemanfaatan bansos sebagai bantuan bermotif kampanye dukungan politik dalam pandangan hukum sesungguhnya adalah bentuk penyalahgunaan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Disinilah letak hadirnya moral hazard kebijakan bansos yang menampilkan pencitraan positif. Seolah-olah berpihak dan berempati sebagai dan menolong, namun sesungguhnya sedang memainkan ketidakberdayaan warga secara ekonomi lantas dieksploitasi sedemikian rupa untuk mendulang suara dukungan dalam kontestasi politik.
Moral hazard menunjuk pada sikap yang seolah bernilai baik namun dijadikan taktik menutupi kejahatan yang sesungguhnya adalah kesempatan ambil untung. Istilah ini lazim dikenal dalam dunia bisnis keuangan.
Istilah moral hazard ini sudah sangat lama dikenal dan berkonotasi negatif. Muncul sejak abad ke-17. Secara luas digunakan oleh perusahaan asuransi Inggris di akhir abad ke-19 oleh Dembe dan Boden. Konsep moral hazard adalah subjek penelitian baru oleh para ekonom pada 1960-an dan kemudian menyiratkan perilaku tidak bermoral atau penipuan.
Setali mata uang dengan politisasi bansos, money politics atau politik uang miliki peran yang setara dalam meraup dukungan politik.
Sesuai dengan definisi yang umum, money politics dikaitkan dengan praktek beli suara. Namun lebih jauh dari itu, money politics dalam artian pengaruh uang dalam pemilu meliputi keseluruhan praktek dalam setiap tahapan pemilu yang dapat dipengaruhi oleh uang sehingga dapat diuntungkannya salah satu partai politik atau kandidat.
Para pakar mengkategorikan bansos dan money politics sebagai bagian dari skandal korupsi pemilu. Hal itu karena perilaku itu umumnya lahir dari kebijakan politik yang dimainkan oleh mereka yang sedang berkuasa atau pihak yang mengakses kekuasaan negara.
Dalam prakteknya, politik uang sudah ada sejak dulu di Indonesia. Praktek itu terjadi dalam pemilihan kepala desa di Jawa sejak jaman kolonial. Dalam sebuah ulasan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan politik uang dalam pemilihan kepala desa itu ramai jadi sorotan media pemberitaan jaman kolonial di pertengahan abad 19.
Dalam konstruksi politik penyelenggaraan pemilu kontemporer, dibentuk lembaga pengawasan pemilu secara formal bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebuah lembaga formal yang memiliki kewenangan besar untuk mengawasi proses pemilu dari pelanggaran yang ditentukan baik dalam undang-undang pemilu maupun ketentuan-ketentuan kepemiluan. Termasuk memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran yang berujung diskualifikasi maupun pidana.
Lembaga ini ditopang dengan struktur dan personil berjenjang dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan hingga ke TPS. Nyatanya meski strukturnya lengkap, tak mampu membendung perilaku menyimpang baik penyalahgunaan bansos maupun money politics.
Pasca pemungutan suara, ramai soal penyelewengan yang berkaitan dengan isu bansos dan money politics. Suara itu nyaring disuarakan oleh mereka yang kalah dalam kontestasi pemilu. Mereka yang kalah itu menuding kekalahan mereka karena perilaku curang tersebut.
Padahal, jika dicermati lebih dekat, mereka yang berteriak menyoal kecurangan itu, pun tak luput dari perilaku yang sama. Sudah jadi rahasia bersama bahwa tak ada yang steril dari pemanfaatan bansos maupun aksi beli suara melalui money politics.
Belajar dari pengalaman Pileg 14 Februari baru lewat, masyarakat pemilih pun seperti sangat mengharapkan adanya aksi beli suara dan sentuhan bansos melalui aksi sesaat jelang pemungutan suara atau populer dengan istilah serangan fajar.
Bansos dimanfaatkan oleh mereka yang punya akses kekuasaan, umumnya para petahana. Berbagai modus digunakan yang intinya diyakini jitu mempengaruhi pemilih.
Bansos dalam bentuk paket-paket sembako dan amplop berisi sejumlah uang dimainkan secara merata oleh setiap caleg partai politik. Konon jumlah besaran bantuan saling tindis. Paket atau amplop yang dibelakang dan jumlahnya lebih besar diantara yang sudah diterimalah yang efektif mendapatkan dukungan suara pemilih.