Bangsa yang Masih Mencari Pahlawan

Oleh : Lilis Sulastri | Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Pahlawan yang Hilang di Tengah Keramaian

Kita hidup di masa ketika kata “pahlawan” sering terdengar, tapi jarang terasa. Di layar televisi dan media sosial, sosok pahlawan kerap digantikan oleh figur popular dan sorak-sorai lebih mudah diberikan pada yang viral ketimbang yang berjasa. Padahal, bangsa ini berdiri di atas darah dan air mata mereka yang berjuang tanpa nama. Namun, hari ini, di tengah hiruk pikuk politik, krisis moral, dan kegelisahan sosial, muncul pertanyaan yang menggema di lubuk hati kita: apakah bangsa ini masih memiliki pahlawan, atau justru sedang mencarinya kembali? Di ruang publik, kita menyaksikan polemik demi polemik tentang siapa yang pantas disebut pahlawan. Nama-nama diusulkan, diperdebatkan, bahkan dipolitisasi. Tetapi mungkin pertanyaan yang lebih jujur adalah bukan siapa yang layak disebut pahlawan, melainkan mengapa kita seperti kehilangan makna kepahlawanan itu sendiri.

Krisis Keteladanan

Kemerdekaan telah kita miliki, tapi jiwa merdeka seolah kian langka. Kita merdeka dari penjajahan fisik, namun masih terbelenggu oleh kemiskinan moral, ketergantungan ekonomi, dan fanatisme sempit. Korupsi masih subur, politik transaksional masih mengakar, dan keadilan kerap tunduk pada kekuasaan. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya kehilangan figur pahlawan, tetapi juga kehilangan rasa percaya pada nilai-nilai yang dulu melahirkan pahlawan. Nilai seperti kejujuran, pengorbanan, dan keberanian moral kini sering dianggap “naif” dalam dunia yang pragmatis. Bangsa ini, pada dasarnya, bukan kekurangan orang cerdas, tetapi kekurangan teladan, orang yang hidup dengan nilai yang diyakininya, meski harus melawan arus.

Kepahlawanan Baru di Era Digital

Setiap zaman melahirkan pahlawannya. Dulu para pahlawan berjuang dengan bambu runcing, kini dengan pikiran, keberanian moral, dan keteguhan karakter. Di tengah dunia yang serba cepat, bising, dan kompetitif, menjadi manusia yang berdaya yang mampu berdiri tegak dengan nilai, integritas, dan empati adalah bentuk kepahlawanan baru. Pahlawan masa kini tidak selalu memegang senjata atau menorehkan nama di monument, namun hadir dalam sosok seorang guru yang menolak menyerah mendidik di pelosok, anak muda yang mencipta solusi bagi masyarakat, atau bahkan siapa saja yang berani menaklukkan dirinya sendiri dari ego, ketakutan, dan keputusasaan. Pahlawan zaman kini mungkin tak memakai seragam atau bintang jasa, tetapi ia berjuang di ruang yang lebih sunyi di ruang kelas, di laboratorium, di gang-gang sempit, di dunia maya. Seorang guru yang tetap mengajar di desa terpencil, mahasiswa yang menolak plagiarisme, jurnalis yang menulis kebenaran tanpa takut kehilangan pekerjaan, atau pemuda yang menolak budaya korupsi kecil-kecilan atas nama “lumrah.”, Seorang ASN yang menolak suap, atau seorang anak muda yang menolak budaya konsumtif dan memilih hidup produktif , mereka adalah contoh pahlawan bagi dirinya. Pahlawan bukanlah mereka yang tidak pernah kalah, tetapi yang terus memilih bangkit dengan nurani yang hidup.

Dalam era digital, kepahlawanan bukan lagi milik mereka yang diakui negara, tapi mereka yang mampu mempertahankan kemanusiaan di tengah banjir informasi dan hilangnya empati. Ketika kebohongan menjadi biasa dan kejujuran dianggap berisiko, maka memilih untuk tetap jujur adalah tindakan heroik. Ketika banyak orang mencari keuntungan pribadi, maka memilih untuk berbagi adalah bentuk baru keberanian. Kita hidup di masa ketika like sering dianggap ukuran eksistensi, dan kecepatan menggantikan kedalaman. Banyak generasi muda kehilangan arah karena merasa kecil di tengah gemerlap pencapaian semu. Padahal, kepahlawanan sesungguhnya tidak lahir dari sorotan publik, melainkan dari kejujuran pada diri sendiri dengan mau berubah, mau berbuat, mau memberi makna. Menjadi pahlawan hari ini berarti menolak menjadi penonton atas kehancuran nilai, dan memilih menjadi bagian dari solusi.

Pahlawan dan Daya Diri

Salah satu bentuk kepahlawanan paling hakiki adalah menjadi manusia berdaya , menjadi seseorang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri. Seperti Nabi Muhammad SAW sampaikan : “Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsumu sendiri.” Dalam konteks kebangsaan, daya diri berarti kesanggupan untuk berpikir mandiri, bekerja dengan integritas, dan tidak tunduk pada sistem yang menindas nilai. Pahlawan sejati bukan yang paling kuat, tapi yang paling teguh menjaga nurani ketika semua memilih diam, tidak menunggu penghargaan, karena yang dicari bukan tepuk tangan, melainkan ketenangan batin tentang hidup dengan benar. Pahlawan masa kini adalah mereka yang berani menjadi manusia utuh di tengah sistem yang sering mendorong manusia untuk menjadi mesin. Ketika generasi muda mampu menemukan nilai dalam dirinya, mengubah kekecewaan menjadi karya, dan luka menjadi daya, maka lahirlah bentuk baru kepahlawanan menjadi pahlawan bagi dirinya, sekaligus inspirasi bagi sesama. Berdaya” berarti mampu mengelola diri , pikiran, emosi, dan tindakan untuk kebaikan yang lebih luas. Dalam perspektif spiritual, ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Kemandirian berpikir, keberanian bertindak benar, dan kesetiaan pada nilai adalah bentuk nyata dari daya diri.

Bangsa yang Masih Mencari Diri

Kita menyebut 10 November sebagai Hari Pahlawan, tapi seberapa sering kita benar-benar merenungkan maknanya? Banyak upacara dilakukan, banyak bunga ditaburkan, namun hanya sedikit yang melanjutkan semangatnya dalam tindakan. Kita mengenang pahlawan masa lalu, tapi sering lupa bahwa bangsa ini butuh pahlawan hari ini yang hidup, berpikir, dan bertindak di tengah realitasnya. Bangsa yang masih mencari pahlawan sesungguhnya adalah bangsa yang masih mencari jati dirinya sendiri. Kita belum sepenuhnya menemukan keseimbangan antara kemajuan dan moralitas, antara kebebasan dan tanggung jawab, antara nasionalisme dan kemanusiaan. Dan selama itu pula, kita harus terus mencari bukan di luar diri, melainkan di dalam diri setiap warga negara. Bangsa yang masih mencari pahlawan sejatinya sedang mencari kesadaran baru tentang apa artinya menjadi manusia berharga. Kepahlawanan bukan sesuatu yang diberikan, melainkan ditemukan di tengah kesetiaan kita pada nilai, kerja keras kita dengan menolak kemalasan, dan keikhlasan kita dalam memberi makna pada hidup. “The hero is the one who has conquered himself.” — Joseph Campbell. Maka, ketika setiap individu yang mau memulai dari dirinya dengan kejujuran, dengan kebaikan kecil, dengan kerja yang bermakna, maka bangsa ini tak perlu mencari pahlawan diluar sana. Sebab pahlawan sejati, ternyata, telah lama menunggu untuk ditemukan di dalam diri kita sendiri.

Pahlawan dan Spirit Generasi Baru

Generasi muda Indonesia kini hidup di tengah disrupsi besar: teknologi, ekonomi, dan nilai. Namun di balik guncangan itu, tersimpan peluang besar untuk melahirkan pahlawan-pahlawan baru dengan cara yang berbeda. Pahlawan hari ini bukan yang menunggu panggilan sejarah, tapi yang mencipta sejarahnya sendiri. Mereka adalah inovator sosial, aktivis lingkungan, pelaku ekonomi kreatif, guru literasi digital, hingga relawan kemanusiaan yang bekerja tanpa pamrih. Mereka tidak menunggu momentum, karena mereka tahu kepahlawanan bukan tentang waktu, melainkan tentang kesadaran. Sebagaimana dikatakan Soekarno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Namun dalam konteks hari ini, bangsa yang besar juga adalah bangsa yang mampu melahirkan pahlawan-pahlawan baru dari rahim kesadarannya sendiri.

Ketika dunia terasa gelap, tugas kita bukan mengutuk kegelapan, tapi menyalakan lilin. Setiap tindakan kecil yang lahir dari niat baik memiliki daya menyembuhkan bukan hanya bagi orang lain, tapi bagi bangsa ini. Menjaga kejujuran, menolak suap, menolong sesama, menanam pohon, membimbing anak, menuliskan kebenaran. Inilah bentuk bentuk kecil kepahlawanan yang bila dikumpulkan akan menjadi energi besar peradaban. Kita mungkin tak lagi bisa berperang di medan tempur, tapi kita bisa berjuang melawan sikap acuh, malas berpikir, dan hilangnya empati. Menjadi model kepahlawanan baru dengan keberanian untuk tetap manusiawi di tengah dunia yang kian kehilangan rasa. Generasi muda bukan sekadar penerus bangsa, tetapi penemu arah baru bangsa. Menjadi manusia berdaya berarti berani berpikir kritis, namun juga berempati sosial, melek digital, namun tetap berakar pada nilai, berani bersuara, namun tahu kapan mendengar.

Kepahlawanan modern adalah ketika seseorang menggunakan potensinya untuk mencipta nilai tambah bagi kehidupan, dari inovasi sosial, pengabdian lingkungan, sampai literasi digital yang membangun kesadaran kolektif. Inilah wujud baru dari patriotisme abad ke-21, mengabdi tanpa pamrih, dan menjawab panggilan nurani. Menjadi manusia berdaya berarti mengenali luka, lalu menyembuhkannya dengan karya. Menghadapi ketakutan, lalu menaklukkannya dengan keberanian. Kita tak perlu menjadi besar untuk berdampak cukup menjadi berarti dalam lingkaran kecil kehidupan. Sebab pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya memiliki pahlawan dalam sejarahnya, tetapi melahirkan pahlawan dalam spirit kesehariannya.

“The greatest battle is not fought on the battlefield, but within ourselves.” — Mahatma Gandhi

“Barang siapa mengenal dirinya, ia akan menemukan Tuhannya.” — Hadis

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *