Oligarki Menjerat Demokrasi, Hapus Presidential Threshold 20% Harga Mati

BOGOR ~ Di Usianya yang 76 Tahun Indonesia tampaknya masih mempunyai banyak pekerjaaan banyak rumah dalam hal memperbaiki kondisi serta situasi secara sosial maupun politik bangsa.

Dan itu berkaitan dengan Iklim demokrasi yang seharusnya teramat subur serta makmur untuk memberikan kebebasan kepada rakyat terutama dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Namun itu semua hari demi hari terasa semu atau hanya tampaknya saja Demokrasi di negeri masih berjalan, telah banyak studi membuktikan bahwa sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis .

Jika kita bertanya bagaimana mutu Demokrasi di Indonesia yang memang sudah kepalang basah kuyup dalam arus serta pusaran Oligarki menjadi ternoda?.

Ada beberapa Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu intitusi yang turut berperan adalah partai poltik

Kemudian dari Oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligarki, Politik oligarki merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elit penguasa partai politik, karena jabatan pimpinan partai politik menjadi rebutan banyak pihak, banyak orang berebut untuk bisa menduduki jabatan pimpinan partai politik dan tidak sedikit yang menggunakan uang untuk meraihnya

Sebagai warga Indonesia pasti mengenal sosok pakde Jokowi (sapaan), salah satu pemimpin negeri ini yang dikenal dari wong cilik terlihat ketika kampenya dari walikota, gubernur sampai presiden dengan menggunakan becak, masuk ke lorong-lorong, gang-gang, makan di warteg, dll. Masyarakat Indonesia mengangumi gaya beliau sehingga melesat sampai kursi Presiden dua priode.

Di masa kepresidenan di tangan beliau, banyak perubahan dari sektor hulu sampai hilir. Infrastuktur di bangun dari Sumatera sampai Papua, yang terbaru menjadi presidensi G20 untuk mendamaikan perang Rusia-Ukraina, Barat (Nato)-Rusia, krisis energi dan pangan global, dan tidak lupa partai oposisi darinya menjadi bagian darinya dengan rangkulan resuffle untuk membangun negeri tercinta.

Pada saat Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta, 15 Oktober 2012 dengan wakil Ahok, politik identitas mulai terasa di permukaan baik ras, agama, maupun suku.

Dan puncaknya di saat Ahok-Djarot dikalahkan oleh Anis-Sandi masyarakat terbelah karena politik identitas yang semakin merebak di tengah masyarakat DKI Jakarta.

Cikal bakal Terbelah sudah terasa di masa ini menjadi dua identitas, kadrun/kampret identik dengan pro Anis-Sandi dan Cebong dengan pro Ahok-Djarot.

Di tahun 2014 Jokowi berhasil menjadi Presiden Indonesia bersama pasangannya Jusuf Kalla. Tahun ini menjadi priode pertama bagi Pakde Jokowi.

Program-program kampanye nya dijalankan dari sisi ekonomi dengan dibantu Jusuf Kalla sebagai wakil presiden yang berpengalaman sekaligus pengusaha di Indonesia.

Di tahun 2019, Jokowi berhasil terpilih kembali bersama Kh. Ma’ruf Amin dengan lawan yang sama, Prabowo-Sandi.

Politik identitas digaungkan kembali dengan membawa ras, suku, dan agama. Kata “cebong-kampret” ditujukan ke setiap orang maupun kelompok.

Yang ganasnya lagi ketika ada yang mengkritik pemerintah disebut kampret, sendangkan yang menjunjung pemerintah disebut cebong. Hal ini terjadi karena ada faktor oposisi di dalam pemerintah.

Padahal oposisi di sistem demokrasi dibutuhkan sebagai self control pemerintah. Partai yang beroposisi yaitu Gerindra (12,57%), PKS (8,21%),Demokrat (7,77%), PAN (4,52%).

Presiden Jokowi berhasil menggandeng partai oposisi Gerindra dengan suara 12.57% ke dalam kabinet Indonesia kerja jilid II, dengan mengangkat Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dan Edy Prabowo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (22/10/2019) kemudian menyusul partai PAN masuk dalam pemerintahan dengan hadirnya PAN dalam rapat pimpinan partai koalisi bersama Pak Jokowi (25/08/2021) dengan mengangkat Zulkifli Hasan menjadi Menteri Perdagangan (25/05/2022).

Oposisi di dalam bingkai koalisi

Pak jokowi sebagai presiden 2 priode yang sedang memainkan politik terhadap dirinya lewat rangkulan oposisi.

Di dalam internal partai PDIP ada dua tokoh yang sangat berpengaruh, yang satu ketua sekaligus ada gen Soekarno yang diistilahkan populer power (diwakili Megawati) dan yang lainnya menjadi petugas partai sekaligus presiden yang diistilahkan executive power (diwakili Jokowi) (kompas, 01/07/2022). Kedua tokoh ini sama-sama kuat bahkan Jokowi bisa setara atau diatas Megawati.

Kekuatan Jokowi dipengaruhi oleh rangkulan oposisi yang memberi jalan masuk pengaruhnya ke dalam partai tersebut, seolah-olah diatas ketua-ketua umum partai koalisi ada ketua umum yaitu Jokowi.

Hal ini menjadi jalan alternatif politik Jokowi dan kalkulasi politiknya di luar partai PDIP, sebagai bukti Ganjar Pranomo didorong Capres 2024 oleh pendukung Jokowi tanpa aba-aba dari ketua Umum Partai.

Di dalam rakernas PDIP, Megawati mengatakan bahwa “saya diberi oleh kalian hak prerogatif, hanya ketua umum yang menentukan presiden” (21/06/2022), jauh hari sebelumnya, Jokowi telah mengatakan “Ojo kesusu” di acara pertemuan kedua Projo di Magelang (21/05/2022). Meski demikian, Jokowi memberi sinyal untuk Ganjar Pranowo karena elektabilitas yang tinggi dari berbagai lembaga survei (tempo, 12/06/2022).

kekuatan politik Jokowi yang tersendiri pada tingkat nasional tidak menutup kemungkinan untuk tiga periode atau ditambah masa jabatan presiden karena berbagai alasan. Hal ini pernah dibicarakan oleh Politikus Gerindra, Arief Puyuono dalam Talk Show Detik.

Ia mengatakan bahwa sangat mungkin Jokowi tiga priode setelah tujuh partai masuk ke dalam pemerintahan.

Proses Jokowi tiga periode, katanya dengan cara tujuh partai mengusungkan tidak ada capres-cawapres hanya PDIP yang mengusungkan capres-cawapres sehingga KPU mengundurkan hari pemelihannya dan tidak ada lagi dan seterunya sampai KPU meminta fatwa ke MK dan dilimpahkan ke sidang istimewa MPR di tahun 2024.
Dinamika politik di dalam negeri mengalami perubahan yang signifikan.

Dimana hirarki tingginya populatitas ketua umum bisa tersalip dengan eksekutif personal dan juga bahaya dari tingginya presidential treshold 20%.

Kemudian Pada hakikatnya sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia kontradiktif dengan presidential treshold 20%, dikhawatirkan kembali ternak oligarki.

Nabil Djamhari Bogor, 2022

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *