Oleh : Lilis Sulastri | Guru Besar Ilmu Manajemen FEBI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Pernahkah kita berfikir bahwa alam adalah bagian dari mahluk hidup yang menyimpan ingatan. Ingatan di mana banyak rawa yang ditimbun, bukit yang diratakan, hutan yang dibakar, sungai yang disempitkan. Dan setiap kali musim berganti, ingatan itu kembali dalam bentuk peringatan kadang lembut, kadang keras, sering kali kita abaikan. Banjir yang berulang di kota yang sama, longsor yang terjadi di tebing yang sama, kebakaran hutan yang menutup langit pada bulan yang sama, kekeringan yang mematikan panen di wilayah yang sama semuanya bukan kebetulan. Ini bukan ‘ujian yang tiba-tiba datang dari langit’, tetapi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita mengelola ruang hidup.
Indonesia memang negara rawan bencana. Tapi banyak kerusakan yang terjadi hari ini bukan soal geologi atau cuaca ekstrem. Banyak yang sebenarnya lebih dekat pada apa yang disebut para ahli sebagai bencana sosial-ekologis, bencana yang lahir dari pertemuan antara alam yang rentan dengan keputusan manusia yang serampangan. Kita hidup di negeri yang indah, tetapi juga di negeri yang sering lupa bahwa keindahan itu rapuh.
Alam Tidak Pernah Tiba-Tiba Marah
Sebenarnya, alam tidak pernah benar-benar ‘mengamuk’. Yang sering terjadi adalah alam hanya kembali bekerja sesuai aturannya, aturan yang kita langgar pelan-pelan dan bertahun-tahun. Air mengalir ke tempat yang dulu dia datangi. Tanah bergerak ketika ia kehilangan akar yang dulu menahannya. Api menyebar ketika hutan kehilangan kelembapannya. Dan udara memanas ketika pepohonan bernilai lebih sedikit dibandingkan tambang atau kebun industri.Kita sering menyebut sebagai ‘musibah’, atau ‘bencana’ padahl bukan kejadian mendadak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan :“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia.”(QS. Ar-Rum: 41). Para ilmuwan modern mengatakannya dengan bahasa berbeda, tetapi intinya sama, kerusakan ekologi hari ini lebih banyak disebabkan oleh keputusan manusia.
Mengapa Bencana Kita Selalu Berulang?
Ada tiga pola besar yang membuat bencana di Indonesia seperti cerita lama yang diulang terus tanpa babak baru. Pertama: tata ruang yang sering tunduk pada kepentingan, bukan keselamatan. Kita menempatkan rumah di tepian sungai yang seharusnya menjadi ruang air, membangun permukiman di kaki bukit yang tidak siap menahan beban, membiarkan gedung tumbuh tanpa ruang resapan. Kota-kota kita tumbuh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menanggungnya. Kedua: hukuman bagi perusak lingkungan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Ketika hutan terbakar, kita bertanya siapa pelakunya. Ketika air tanah habis, kita bertanya siapa yang menguras. Ketika tambang meninggalkan lubang raksasa, kita bertanya siapa yang harus bertanggung jawab.Tapi jawaban yang diharapkan jarang benar-benar tiba. Dan bahkan tanpa pertanggungjawaban, maka kesalahan yang sama akan mudah terulang lagi.
Ketiga: negara hadir terutama setelah bencana, bukan sebelum bencana. Kita memiliki kapasitas respon yang kuat BNPB sigap, relawan bergerak cepat, warga bergotong royong. Tetapi kita masih lemah dalam mencegah bencana terjadi. Negara sering bekerja keras ketika rumah sudah hancur, bukan ketika peta risiko sudah dibuat. Kita lebih sering merawat luka dari pada mencegahnya.
Di Persimpangan Alam dan Kekuasaan
Sebenarnya, hubungan manusia dan alam selalu melibatkan kekuasaan, bukan hanya kekuasaan negara, tetapi juga kekuasaan ekonomi. Kala izin lebih mudah diterbitkan daripada kajian lingkungan diselesaikan, ketika keuntungan jangka pendek lebih menarik daripada keberlanjutan jangka panjang, ketika sungai dan gunung dipandang sebagai ‘aset’ bukan sistem hidup, di sanalah bencana menjadi sebuah keniscayaan. Filsuf-filsuf Islam sudah lama membahas hal tersebut. Ibn Khaldun menulis bahwa kerusakan negeri bermula dari kerakusan penguasanya. Al-Ghazali mengingatkan bahwa rusaknya kepemimpinan berarti rusaknya tatanan alam dan masyarakat. Hossein Nasr menyebut bahwa krisis ekologi modern adalah krisis spiritual, kita kehilangan kesadaran bahwa alam bukan benda mati, melainkan tanda-tanda Tuhan. Semua pemikiran ini mengarahpada kesimpulan sederhana, bahwa kerusakan alam tidak pernah murni teknis, bahkan terlalu politis.
Lalu Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Solusi selalu ada tetapi jarang yang berani memulainya, karena yang harus diubah bukan hanya teknis, tetapi cara pandang. Pertama, kita perlu menata ulang hubungan kita dengan ruang hidup. Sungai bukan halaman belakang, tetapi makhluk dengan hak alirnya sendiri. Gunung bukan latar foto wisata, tetapi penyangga ekologi. Hutan bukan stok kayu, tetapi mesin kehidupan. Kedua, negara harus menggeser fokus dari ‘respon cepat’ menuju ‘pencegahan bijak’. Respon cepat penting, tetapi mitigasi jauh lebih murah, lebih manusiawi, dan lebih bermasa depan. Ketiga, hukum lingkungan harus ditegakkan dengan serius. Bukan untuk menghukum orang, tetapi untuk melindungi kehidupan. Keempat, kita perlu memandang mitigasi sebagai bagian dari moral public bukan sekadar teknis infrastruktur. Seperti halnya kita menjaga keselamatan anak-anak kita, begitu pula kita menjaga tanah, udara, air, dan pepohonan. Mereka bukan milik kita, tetapi milik generasi setelahnya .
Pertanyaan yang Harus Kita Jawab sebagai Bangsa
Apakah kita akan terus menunggu hingga bencana datang, lantas kemudian berbicara tentang tata ruang? Apakah kita akan terus membiarkan sungai menyempit, hutan menghilang, dan lereng dipaksa menopang bebannya? Apakah kita akan terus hidup dalam siklus “musibah berulang” hanya karena kita enggan berubah?
Al-Qur’an mengingatkan lagi: “Apa saja musibah yang menimpa kamu adalah akibat perbuatanmu sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30) bagian ayat ini bukan untuk menghakimi. ayat yang meminta kita jujur melihat diri sendiri. Musibah memang tak bisa dihentikan sepenuhnya. Tapi banyak musibah yang berulang, banjir di tempat yang sama, longsor di lokasi yang sama, kebakaran di musim yang sama, dan sebenarnya dan dapat dicegah. Dan menyisakan satu pertanyaan besar. Apakah kita mau mencegah? atau menunggu untuk kembali meratap? Karena pada akhirnya, pilihan antara mitigasi atau musibah berulang bukan pilihan teknis, melainkan pilihan moral dan Pilihan generasi tentang seperti apa Indonesia yang ingin kita tinggalkan bagi anak cucu kita.
Wallahu’a’lam bisshowaab




