Kekerasan di MTs Al Maghfirah: Kuasa Hukum Desak Proses Hukum Tak Berhenti di Mediasi

BEKASI ~ Dunia pendidikan di Kabupaten Bekasi kembali tercoreng oleh tindakan kekerasan antar pelajar. Kali ini, kejadian memilukan terjadi di lingkungan sekolah berbasis religi, MTs Al Maghfirah, yang berlokasi di Desa Telajung, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Seorang siswa kelas IX berinisial A menjadi korban pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh tiga rekan sekolahnya sendiri, tepat saat jam istirahat pada Jum’at, 26 September 2025 lalu, sekitar pukul 10.00 WIB.

Putra Agustian, S.H, C.L.A selaku Auditor Hukum sekaligus Kuasa Hukum dari korban menilai insiden itu sebagai bentuk nyata kegagalan sistem pengawasan sekolah dalam menjamin keamanan peserta didik. Menurutnya, kasus ini menandakan tidak adanya mekanisme pencegahan yang matang sejak awal MPLS dirancang.

“Sekolah seharusnya mampu memetakan potensi adanya perundungan lebih dini. Pencegahan seharusnya menjadi langkah awal, bahkan sejak hari pertama MPLS,” tegasnya.

Pria yang akrab disapa BP itu juga menjelaskan bahwa perundungan adalah persoalan kompleks yang harus ditangani secara menyeluruh sebelum, saat, dan setelah kejadian dan menurutnya, sekolah perlu memiliki standar pelaksanaan yang jelas dan tertulis, termasuk aturan tegas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Sosialisasi menyeluruh kepada seluruh elemen sekolah sangat penting. Jika perlu, diberlakukan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan” tambahnya.

Terkait penyelesaian kasus melalui mediasi antara keluarga korban dan pelaku, BP menegaskan bahwa proses mediasi tidak boleh menjadi akhir dari penanganan kasus.

“Mediasi harus diimbangi dengan langkah rehabilitatif dan edukatif bagi pelaku agar efek jera dan nilai moral dapat terbentuk. Tidak boleh hanya selesai dengan permintaan maaf atau kesepakatan damai,” ujarnya.

BP juga menyoroti pentingnya pendampingan bagi korban dan pelaku, baik secara psikologis maupun hukum. Mengingat pelaku masih berstatus anak di bawah umur, penanganan harus mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak.

“Jangan normalkan perspektif ‘namanya juga anak-anak’. Justru karena masih anak-anak, pendampingan harus maksimal agar proses tumbuh kembang mereka tidak terdistorsi oleh pengalaman buruk,” jelas Putra kepada awak media, Jum’at (3/10/2025).

Saat ini kasusnya sudah di tangani oleh Polres Metro Bekasi dengan Laporan Polisi Nomor : LP/B/3002/IX/2025/SPKT/POLRES METRO BEKASI/POLDA METRO JAYA.

“Kami berharap Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Polres Metro Bekasi bergerak cepat dan tegas agar dapat memberikan kepastian hukum dalam kasus ini dengan dugaan Tindak Pidana Kejahatan Perlindungan Anak UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C UU 35/2014 dan atau 80 UU PA.” pungkasnya.

Lebih jauh, ia menyebut kejadian ini sebagai tamparan keras tidak hanya bagi sekolah, tetapi juga bagi Dinas Pendidikan dan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Insiden tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai pendidikan anti-kekerasan belum benar-benar tertanam dalam budaya sekolah.

Sebagai solusi jangka panjang, BP mendorong revisi menyeluruh terhadap format MPLS secara nasional dan pembentukan mekanisme pelaporan kasus kekerasan di sekolah yang aman, ramah anak, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.
(CP/red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *