Geng Solo Menguat: Dinamika Kekuasaan di Balik Layar Pemerintahan Prabowo

JAKARTA ~ Sebuah analisis politik yang tajam dari Lembaga Kajian Politik Pengawal Demokrasi Indonesia Pembaharuan menyoroti fase kritis 313 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sejak dilantik pada 20 Oktober 2024. Wisnu Dewa Wardhana, peneliti utama lembaga tersebut, menyebut periode ini sebagai fase penentuan arah strategis kepemimpinan nasional, di mana kontestasi kekuasaan kini semakin terbuka dan nyaris tanpa sekat.

Menurut Wisnu, masa awal pemerintahan bukan hanya panggung konsolidasi kekuasaan eksekutif, tetapi juga momentum terbukanya tarikan-tarikan politik di balik layar yang kian gamblang. Ia menyebutkan bahwa dalam “kaca benggala politik”, kelompok kekuasaan yang disebut sebagai Geng Solo kini semakin terang benderang memperlihatkan gerakannya (bukan lagi simbolik), melainkan nyata dalam struktur kekuasaan.

Pasca Idulfitri 2025, sejumlah menteri secara terbuka merapat ke Solo. Fenomena ini dianggap bukan sekadar silaturahmi, melainkan bagian dari orkestrasi kekuatan politik yang terorganisir. Menariknya, tidak hanya di tingkat pusat, gerakan ini juga mulai merambah ke kepala daerah yang perlahan menunjukkan arah dukungan politik yang bergeser.

Wisnu menyoroti manuver Gubernur Jawa Timur sebagai sinyal politik penting. Setelah melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumatera Utara (yang juga menantu Presiden Jokowi) ia terlihat bersama Pangdam dan Kapolda Jatim menghadap Jokowi di Solo. Peristiwa ini dipandang sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan berbasis loyalitas personal yang membentang dari pusat hingga daerah.

Tidak hanya itu, sebuah insiden di mana seorang tokoh bergaya preman mendapat penghormatan tinggi saat kunjungan Tim Percepatan Urusan Aparatur (TPUA) ke Solo semakin memperkuat indikasi bahwa simbol-simbol kekuasaan informal kini turut bermain dalam konstelasi politik nasional. Ini menandakan bahwa kekuatan non-struktural tengah mengambil peran penting dalam dinamika kekuasaan.

“Pertanyaannya kini bukan apakah akan terjadi benturan kekuasaan, tetapi siapa yang akan menarik pelatuk lebih dulu. Siapa yang menyergap, siapa yang disergap,” kata Wisnu tegas. Menurutnya, realitas politik saat ini sudah mengarah pada pertarungan terbuka antara kekuatan resmi dan kekuatan bayangan yang selama ini bergerak dalam diam.

Dalam konteks ini, Wisnu menilai bahwa oligarki tetap menjadi aktor sentral dalam pengambilan keputusan strategis. “Sejarah Indonesia belum pernah mencatat kekalahan oligarki dalam percaturan politik dan ekonomi. Mereka bisa diam, tapi saat bergerak, dampaknya mematikan,” jelasnya. Pernyataan ini mencerminkan realitas demokrasi Indonesia yang masih dibayangi kekuatan modal dan dinasti.

Isu mengenai “kudeta terselubung” terhadap Presiden Prabowo mulai mengemuka. Anomali politik seperti keberadaan “matahari kembar” antara presiden aktif dan mantan presiden menjadi perhatian serius. Intensitas pertemuan antara Prabowo dan Jokowi yang tidak biasa menimbulkan spekulasi bahwa ada agenda tersembunyi yang sedang dimainkan.

Ironisnya, sejumlah menteri dalam Kabinet Prabowo justru lebih sering terlihat menghadap Jokowi. Spekulasi berkembang bahwa mantan presiden itu tengah mengumpulkan data, pengaruh, dan kekuatan untuk menjatuhkan Prabowo melalui loyalis-loyalisnya di lingkaran kekuasaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang loyalitas kabinet dan ancaman atas stabilitas konstitusional.

Wisnu menyayangkan bahwa Prabowo, meski berpengalaman sebagai jenderal, justru menunjukkan kelemahan dalam mengelola tekanan politik. Langkah kompromistis dan blunder politik yang ia lakukan dalam beberapa bulan terakhir dianggap memperburuk posisi tawarnya di hadapan kekuatan oligarki dan politik warisan. “Ini bukan semata soal strategi, tapi soal keberanian menghadapi badai,” katanya kepada awak media, Jum’at (29/08/2025).

Sebagai penutup, Wisnu mengingatkan Presiden Prabowo untuk tidak melupakan semangat perjuangan dan integritas seorang jenderal sejati. Ia mengutip amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 17 Agustus 1948: “Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku ini. Tetapi jiwaku akan tetap hidup, tetap menuntut bela siapapun lawan yang aku hadapi.” Sebuah pesan yang kuat bahwa dalam politik, kehormatan dan ketegasan adalah harga mati.
(CP/red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *