Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Dinilai Prematur, Pegiat Hukum Desak Gubernur Maluku Evaluasi

Jakarta, – Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Maluku dinilai belum sesuai dengan tahapan yang disyaratkan oleh undang-undang Minerba dan undang-undang lingkungan hidup. Hal ini disampaikan oleh Irwan Abd. Hamid, seorang pegiat hukum yang juga mahasiswa Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Pidana. Menurut Irwan, Gubernur Maluku perlu meninjau ulang perizinan yang telah dikeluarkan.

Irwan Abd. Hamid menyoroti dua poin penting dalam isi IPR. Pertama, pemegang IPR dilarang memindahtangankan izinnya kepada pihak lain. Kedua, pemegang izin tidak boleh menggunakan bahan berbahaya, beracun, atau B3 dalam pengolahan material tambang.

Lebih lanjut, Irwan mengungkapkan bahwa pemegang IPR memiliki kewajiban untuk menyelesaikan dokumen lingkungan di Amdal Net sebagai syarat wajib berkegiatan pertambangan, mulai dari penambangan, pengolahan, pengangkutan, hingga penjualan. Semua harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Faktanya, koperasi-koperasi yang telah mendapat persetujuan IPR ternyata belum memenuhi persyaratan di Amdal Net dan menyelesaikan kewajiban komitmen pengelolaan pertambangan dengan menerapkan kaidah pertambangan yang baik, khususnya pengelolaan lingkungan hidup dengan tidak menggunakan bahan kimia B3 jenis merkuri dan sianida,” tegas Irwan dalam keterangan persnya, Jumat (6/6/25).

Pendelegasian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dalam menerbitkan IPR, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pertambangan di daerah. IPR sendiri adalah izin yang diberikan kepada individu atau koperasi beranggotakan penduduk setempat untuk melakukan usaha pertambangan rakyat. Namun, Irwan menegaskan bahwa pendelegasian ini harus dilakukan tanpa melanggar aturan yang ada, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh koperasi.

“Saat ini yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang pemberian perizinan IPR,” ujar Irwan.

Ia menjelaskan bahwa IPR ditujukan untuk kegiatan pertambangan rakyat berskala kecil, modal terbatas, dan menggunakan teknologi sederhana. Izin ini bersifat non-transferable (tidak dapat dipindahtangankan) dan tidak diperuntukkan bagi warga asing.

Pelarangan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya dan Konvensi Minamata
Irwan juga menekankan bahwa kegiatan pertambangan, terutama tambang emas, tidak boleh menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri. Kedua zat ini termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Indonesia adalah salah satu negara yang terlibat aktif dalam meratifikasi Konvensi Minamata, sebuah perjanjian global mengenai merkuri. Indonesia secara resmi telah meratifikasi konvensi ini pada 20 September 2017 melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2017. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengendalikan dan mengurangi penggunaan merkuri.

MoU Kapolri dan Menteri Lingkungan Hidup dalam konteks penanganan kualitas lingkungan hidup, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisal Nurofiq telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Rabu, 28 Mei 2025.

Menurut Kapolri, penandatanganan MoU ini menjadi bukti perhatian dan kepedulian pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, terhadap isu pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Kajian mengenai analisis Dampak Lingkungan Hidup adalah kajian yang memiliki dampak penting pada Lingkungan Hidup dari suatu usaha yang berkaiatan dengan pertambangan rakyat. Sehingga Gubernur Maluku perlu meninjau ulang pemberian Perizinan IPR.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *