JAKARTA – Pemecatan Massal atau Cleansing guru honorer merupakan kebijakan yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang memutus kontrak kerja sama sepihak dengan para guru honorer.
Jelas, kebijakan ini menjadi kontoversial karena guru honorer telah banyak berjasa mendidik dan membantu para penerus estafet perjuangan bangsa ini.
Hal itu mendapatkan sorotan dari anak muda yang peduli dengan pendidikan Mohamad Rasyid Alkautsar. Dia, dengan tegas menolak kebijakan cleansing tersebut.
Rasyid menuntut pihak berwenang dan terkait untuk memberikan solusi yang progresif dan solutif kepada para pahlawan bangsa Indonesia ini.
“Sangat amat menyayat hati ketika mereka yang memiliki wewenang hanya diam dan tidak memberikan tindakan solutif yang menyelesaikan permasalahan. Kami tunggu solusi yang diberikan hingga 16 Agustus 2024 mendatang,” ungkap Rasyid, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (21/7/2024).
Sementara itu, salah satu guru yang menjadi korban kebijakan cleansing ini, Insan Kamil menganggap kebijakan tersebut tidak logis dan tidak solutif karena tidak memberikan bantalan apapun ketika melakukan pemecatan sepihak.
Insan yang sebelumnya mengajar di SMPN 243 Jakarta Timur itu menjelaskan dirinya tidak diberikan uang pesangon dan tidak diberikan pekerjaan lain karena cleansing itu. Bahkan, katanya selama menjadi guru honorer gajinya dibayarkan 3 bulan sekali.
“Saya rasa disini tidak ditemukan Hak Asasi Manusia didalam sistem pendidikan Indonesia. Wajar di telinga jika mendengar tingkat pendidikan Indonesia yang sangat buruk dan jauh dari kata sempurna,” kata Insan.
Berdasarkan yang dia himpun dari Program for International Student Assessment (PISA) Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 di sistem pendidikan Internasional. Bahkan, menurutnya Indonesia tertinggal 128 tahun dibanding pendidikan lain di dunia.
“Sangat amat menyayat hati ketika tidak ada gerakan maupun gertakan bahkan tindakan dari pihak berwenang yang mengawasi kebijakan ini. Bahkan, seolah-olah mereka menutup mata dan telinga yang dibuktikan dengan tidak adanya solusi hingga kini,” tegasnya.
Insan yang merupakan guru Matematika dan Informatika menganggap kebijakan cleansing ini semacam mimpi buru. Bagaimana tidak, dia ingat betul, Kamis 11 Juli 2024 dirinya dipanggil ke ruang Kepala Sekolah, disana sudah ada Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum dan Kesiswaan, serta Kasatlak SMPN 243.
Dalam diskusi yang singkat, Kepala Sekolah SMPN 243 dengan berat hati menyampaikan pemutusan hubungan kerja, dengan dalih desakan dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta atas kebijakan “Cleansing Guru Honorer” di Sekolah Negeri se-Jakarta.
“Beruntungnya saya adalah, masih mempunyai side job sebagai guru les private dan instruktur di beberapa tempat fitnes. Padahal, saya telah mempunyai Dapodik yang dimana kedepannya bisa dipergunakan sebagai dasar saya melamar PPPK,” tutur Insan.
“Saya juga miris membaca berita penjelasan dari Dinas Pendidikan, Plt Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Budi Awaluddin, menginstruksikan soal pengangkatan guru harus mendapatkan rekomendasi dari Dinas. Ini menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan DKI Jakarta sedang melakukan Playing Victim. Seolah-olah sekolah mengambil kebijakan tanpa restu dari Dinas Pendidikan,” imbuhnya.
Masih kata dia, kinerja Dinas Pendidikan Jakarta dianggapnya lamban dan tidak sigap. Bagaimana tidak, di tahun Insan baru masuk, guru matematika yang ada di sekolah tersebut hanya 2 orang dimana salah satunya satu bulan lagi akan pensiun.
“Bahkan dalam rentang 2 tahun saya mengajar, sudah ada 4 guru yang pensiun, dengan rincian 2 guru IPS, dan 2 guru olahraga. Pengganti dari guru tersebut saja hampir satu tahun pelajaran baru ada guru pengganti. Artinya guru-guru yang ada “terpaksa” mengajar mata pelajaran yang gurunya belum ada tersebut. Apakah ini termasuk dalam kerja Dinas Pendidikan Jakarta?,” pungkasnya menegaskan. ***