Lebih tepatnya ini mimpi politik. Jika kita cermati, pada periode kepemimpinan kedua Presiden SBY (2009-2014), SBY sudah mulai melakukan transisi kepemimpinan di Partai Demokrat. Pada saat itu, putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono atau biasa dipanggil Ibas, sedang naik daun menjadi politisi muda berbakat, Ibas muda menjadi anggota DPR dengan perolehan suara tertinggi se-Indonesia, yakni 327.097 suara.
Beda SBY beda Jokowi, langkah transisi SBY lebih cenderung konservatif dan tidak ingin menimbulkan kegaduhan politik. Pada Kongres ke-II Partai Demokrat, SBY tidak langsung menjadikan Ibas sebagai kandidat Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Hadi Utomo yang merupakan adik ipar dari SBY.
Andi Alfian Mallarangeng menjadi kandidat yang di usung keluarga Cikeas, pada saat itu Andi dianggap sebagai tangan kanan dan orang dalam Cikeas, karena dirinya pernah menjabat sebagai Juru Bicara Presiden SBY selama periode 2004-2009 dan kemudian ditunjuk menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga di tahun 2009.
Penunjukan Andi dirasa aman sebagai jeda transisi sebelum akhirnya Ibas menggantikan menjadi Ketua Umum di periode selanjutnya. Tapi kejutan terjadi, Andi kalah, Anas menang. Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum HMI terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat ketiga menggantikan Hadi Utomo.
Walaupun kemudian Anas menunjuk Ibas untuk menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, menjadikan Ibas sebagai Sekjen partai politik termuda di masanya, kemenangan Anas telah mengacaukan rencana politik keluarga Cikeas, banyak pihak yang menganggap bahwa alasan inilah yang membuat hubungan Anas dan SBY begitu renggang.
Mimpi politik ini kemudian hancur sedemikian rupa setelah sejumlah kader Partai Demokrat terseret kasus Hambalang. Bendahara Umum Nazaruddin, Ketua Umum Anas Urbaningrum, Menpora Andi Mallarangeng terseret dalam pusaran kasus ini. Masalah menjadi semakin besar karena pada saat itu ada dugaan bahwa ‘pangeran juga terlibat’.
Dalam banyak persidangan terkait Hambalang, saksi Yulianis, saksi Nazaruddin, saksi Iwan ajudan Nazar dan saksi Angelina Sondakh juga menyebutkan dugaan keterlibatan pangeran dalam kasus Hambalang. Tapi pada tahun 2014, sang pangeran membantah keterlibatannya dalam dugaan tersebut, katanya tuduhan itu ‘seribu persen ngawur dan fitnah’.
Kita tau siapa sosok pangeran, dan adanya kasus Hambalang membuat karir politik pangeran sangat terganjal. SBY harus turun gunung untuk menata kembali Partai Demokrat dan juga rencana politik keluarga Cikeas. SBY menggantikan posisi Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan melanjutkan masa jabatan Anas sampai tahun 2015.
Pada periode waktu tersebut (2013-2015) Partai Demokrat dipimpin oleh duo Yudhoyono sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, SBY sebagai Ketum dan Ibas sebagai Sekjen. SBY kemudian terpilih kembali sebagai Ketua Umum secara aklamasi pada Kongres Partai Demokrat di tahun 2015, SBY menjabat sampai dengan tahun 2020 dan pada akhirnya digantikan oleh putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Maka mimpi pertama SBY gagal terealisasi, menjadikan pangeran, si bungsu yang lebih awal terjun ke dunia politik menjadi pemegang kendali Partai Demokrat, si sulung harus pensiun dini dari militer, diorbitkan menjadi calon Gubernur Ibu Kota untuk membangun nama, dan akhirnya menjadi pengganti untuk tetap mewujudkan mimpi politik keluarga Cikeas.
*
Mimpi politik kedua SBY juga gagal di tahun lalu. Menjadikan Agus sebagai penggantinya memang mulus, tapi cobaannya juga berat. Sejumlah politisi senior Partai Demokrat tidak menerima keputusan aklamasi kongres yang menetapkan Agus menjadi Ketua Umum. Maka pada tahun 2021 digelar Kongres Luar Biasa yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Konflik internal ini terus berlanjut hingga saat ini, sebelumnya di tahun akhir tahun 2023, nama Agus menguat untuk menjadi bakal Cawapres Koalisi Perubahan mendampingi bakal Capres Anies Baswedan. Partai Demokrat membuat koalisi tripatrit dengan PKS dan Nasdem serta mengusung tema perubahan sebagai landasan kampanye.
Anies sendiri kabarnya sudah menjanjikan posisi Cawapres kepada Agus, baliho yang menampilkan Anies, Agus dan Partai Demokrat juga sudah dipasang dimana-mana. Sayangnya mimpi Cawapres ini gagal terlaksana, baik Nasdem dan Anies kemudian memilih Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, sebagai Cawapres pendamping Anies.
AHY dan Demokrat merasa dikhianati, SBY menyebut Anies sebagai sosok yang tidak jujur dan tidak amanah, tindakan pengkhianatan ini kemudian berujung ditariknya dukungan Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan. AHY dan Demokrat kemudian bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto menjadi Calon Presiden.
**
Beda SBY, beda Jokowi. Jika langkah politik dan proses transisi kepemimpinan SBY cenderung konservatif, langkah politik Jokowi bisa dibilang lebih ekstrem dan bersifat eksperimental, tapi mujurnya sukses.
Jika mimpi politik SBY tahun lalu, menjadikan Agus sebagai calon Wakil Presiden gagal, mimpi politik Jokowi justru sukses besar. Jokowi berhasil menjadikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto bersama dengan Koalisi Indonesia Maju.
Walaupun ada berbagai kontroversi politik dan hukum yang menyertai pencalonan ini, tapi langkah politik dan transisi kepemimpinan yang di lakukan Keluarga Jokowi bisa dibilang lebih sukses daripada Keluarga Cikeas.
Dan yang menarik langkah politik Keluarga Jokowi tidak berhenti di Gibran, momentum politik Keluarga Jokowi berlanjut dengan menempatkan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), penunjukan ini menjadikan Kaesang sebagai Ketua Umum partai politik termuda saat ini.
Sulungnya jadi Cawapres, Bungsunya jadi Ketua Umum. Mimpi politik yang sama, tapi pada tahap realisasi, SBY gagal, Jokowi sukses besar. Walupun terkesan tidak bijak, membandingkan langkah politik yang diambil kedua Presiden ini dapat memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana cara membangun dinasti eh, transisi kepemimpinan yang baik.
Ditulis oleh Muhammad Syaifulloh, Ketua Umum Angkatan Muda Khatulistiwa