Marginalisasi Tanah Adat dan Kesultanan Tidak Boleh Terjadi di IKN

Ilustrasi Tanah Adat (Istimewa)

JAKARTA – Rapat Panitia Kerja (panja) RUU IKN DPR RI mengundang para pakar dalam membahas daftar inventaris masalah (DIM) perubahan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) di ruang Komisi II DPR RI, Jakarta, Senin (18/9/2023).

Dalam rapat, Wakil Ketua Komisi II, Yanuar Prihatin memaparkan bahwa kondisi persoalan tanah di IKN harus segera dicari jalan keluarnya untuk menghindari terjadinya konflik yang besar di kemudian hari karena menyangkut tanah masyarakat, tanah adat, dan juga tanah keluarga kesultanan.

Bacaan Lainnya

“Ada gejala yang harus diselesaikan dalam proses pertanahan di IKN karena di sana ada tanah adat, kemudian juga ada tanah keluarga kesultanan,” ungkapnya.

Yanuar pun mengatakan bahwa persoalan tanah adat di Tanah Air tidak jarang berujung pada hal yang tidak mengenakkan banyak terdistorsi, tersingkirkan, bahkan kalah bertarung melawan korporasi dan termasuk juga negara.

“Dalam proses sejarah, kita tahu tanah adat di negeri ini bukan kabar baik atau bukan kabar gembira, sehingga dalam proses historisnya tanah adat kemudian banyak sekali terdistorsi, tersingkirkan dan tentu kalah ketika harus bertarung dengan korporasi, negara, kementerian, BUMN, swasta dan seterusnya, itu terjadi di banyak tempat,” ujarnya.

Anggota DPR dari Partai PKB Dapil Jabar X itu mencontohkan peristiwa paling puncak seperti kejadian di Rempang itu yang menjadi bukti bahwa tanah-tanah adat memang tidak berkutik ketika berhadapan dengan kekuasaan yang begitu besar.

“Nah kita belum mendapatkan contoh terbaik bagaimana kompromi hukum negara dan hukum adat. Pada umumnya tanah adat mengalami marjinalisasi,” ujar Yanuar.

Dia turut menjelaskan tentang kronologis historis tanah kesultanan di IKN sejak Ratu Juliana Belanda memberikan surat hibah tanah untuk keluarga kerajaan kesultanan Kutai Kertanegara yang diserahkan ke Presiden Soekarno kemudian Presiden Soekarno menyerahkan kepada keluarga kerajaan kesultanan Kutai Kertanegara di tahun 1957.

Proses berikutnya, tanah-tanah hibah kesultanan ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kutai A.R. Padmo tahun 1960 sebagai tanah hak milik adat hibah warisan turun menurun.

Keputusan-keputusan tersebut kemudian diperkuat oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai tahun 1971 Ahmad Dahlan yang dilegalisir kembali oleh Pengadilan Negeri Tenggarong, selanjutnya diperkuat lagi oleh Bupati Kutai tahun 1973 dan dicatat sesuai aslinya oleh Kantor Pertanahan Kutai 3 Januari 1994, dan 11 April 1995 yang ditandatangani oleh panitera Kantor Pertanahan Kutai.

Menariknya, menurut Yanuar, pihak kesultanan Kutai Kertanegara telah menyerahkan uang sebesar 1.890.000 gulden kepada Republik Indonesia Serikat sebagai bukti bayar lunas pajak. Merujuk Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 pasal 20 dinyatakan bahwa tanah adat Grand Sultan tidak perlu didaftar ulang, terdaftar dan diumumkan dalam lembaran negara Republik Indonesia No.104 tahun 1960.

Dari rentetan penjelasan historis tersebut, sangat disayangkan pada proses berikutnya tanah kesultanan Kutai Kertanegara bernasib sama dengan tanah adat lainnya yang tenggelam dan kalah dengan korporasi, bahkan negara.

Yanuar pun menyampaikan bahwa kejadian Rempang atau kejadian lain di tempat lain tentu tidak boleh terjadi di IKN. Ini jangan sampai jadi api dalam sekam dan satu waktu kemudian meledak.

“Untuk membangun IKN kita memang tidak punya modal yang besar, tapi kita memberi ruang yang cukup fair kepada swasta, seyogyanya kita memberikan ruang yang cukup adil juga kepada masyarakat setempat. Harus didapat jalan tengah terbaik, sektor swasta bisa berkontribusi dengan baik di situ tapi hak-hak lokal perlu mendapat perhatian supaya dapat memberikan efek membahagiakan ke semua pihak,” pungkasnya. (Edt: Zulfahmi Siregar) ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *