Mantan Koruptor Nyaleg, Demokrasi Makin Runyam

Tidak terasa pemilihan umum akan kembali digelar, tepatnya pada tahun 2024, walaupun perhelatannya masih tahun depan namun sebenarnya tinggal menyisakan hitungan bulan, waktu yang cukup singkat untuk melakukan kerja politik. Komisi Pemilihan Umum secara resmi telah membuka pendaftaran bacaleg, kompetisi untuk menjadi wakil rakyat di Senayan dimulai.

Ada fakta menarik sekaligus miris yang perlu dicermati, mantan koruptor tetap diberi hak mencalonkan diri sebagai calon wakil rakyat. Memang tidak ada aturan hukum yang melarang mantan napi koruptor untuk terjun ke dunia politik praktis, termasuk menjadi caleg, akan tetapi secara moralitas tentu hal itu bermasalah, bagaimana mungkin orang yang pernah mencuri uang rakyat tiba-tiba merasa diri pantas mewakili rakyat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat lewat jalur legislatif, tentu ini sesuatu yang sangat irasional.

Masalahnya memang karena moralitas itu kembali kepada individu masing-masing, semakin rendah standar moralitas seseorang maka dia akan semakin merasa boleh melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak layak ia lakukan, itulah yang terjadi dalam kasus mantan napi koruptor yang turut nyaleg.

Menjelang pemilu 2019 KPU sempat mengeluarkan aturan yang melarang mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, banyak yang mengapresiasi keputusan KPU tersebut karena berkontribusi positif pada penegakan demokrasi yang bersih, seiring dengan perkembangan dinamika, Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan PKPU tersebut yang berkonsekuensi pada dibolehkannya mantan koruptor untuk nyaleg.

Selain alasan tumpang tindih peraturan, MA juga menilai larangan mantan koruptor untuk nyaleg bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Alasan MA nampak tidak logis, hanya mempertimbangkan aspek HAM dari satu sisi.

Dari sisi mantan koruptor yang berhasrat nyaleg, sementara aspek HAM dari sisi pemilih diabaikan, masyarakat yang punya hak pilih tentu berhak disuguhi caleg yang bersih dan beritegritas, minimal tidak melakukan pelanggaran hukum berat di masa lalu, korupsi merupakan kejahatan luar biasa, oleh sebab itu memberi karpet merah kepada mantan koruptor untuk nyaleg sama halnya mengamputasi hak pemilih untuk mendapatkan suguhan caleg yang berkualitas.

Dibolehkannya mantan koruptor maju sebagai caleg, di sisi lain, juga merupakan ujian bagi pemilih, situasi ini sekaligus mampu mengkonfirmasi sejauh mana kesadaran pemilih untuk memilih caleg yang bersih dan berkualitas, jika pada perkembangannya kelak terdapat mantan koruptor yang berhasil menjadi anggota legislatif pada pemilu 2024.

Maka hal itu merupakan pertanda kualitas pemilih masih berada di bawah rata-rata, kesadaran untuk memilih wakil bersih dan berintegritas untuk menyuarakan aspirasi mereka di parlemen masih minim, namun bila sebaliknya, tidak ada mantan napi koruptor yang berhasil duduk di kursi legeslatif, maka hal itu merupakan pertanda baik bagi demokrasi, artinya pemilih telah sadar bahwa aspirasi mereka tidak mungkin bisa diperjuangkan oleh orang-orang yang pernah melakukan kejahatan luar biasa di masa lalu. Hasil pemilu yang akan mengujinya.

Kita punya harapan bahwa regulasi yang diproduk oleh DPR selalu menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, sebab fungsi DPR adalah memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan menjadi tukang stempel kekuasaan, tetapi cita ideal tersebut akan sulit terwujud bila sistem masih memberikan karpet merah kepada mereka yang punya beban hukum di masa lalu, khususnya orang-orang yang pernah terlibat dalam kejahatan luar biasa bernama korupsi.

Penulis: Zaenal Abidin Ruam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *